Dalam kehidupan sehari-hari, ada banyak hal yang kita anggap biasa, bahkan tidak pernah kita pertanyakan. Salah satunya adalah soal bagaimana orang membersihkan diri setelah buang air besar. Di Indonesia dan banyak negara Asia lainnya, membasuh dengan air adalah praktik standar. Namun, di negara-negara Barat, tisu toilet menjadi pilihan utama. Mengapa kebiasaan ini bisa begitu berbeda?
Penggunaan tisu untuk membersihkan diri berakar pada sejarah panjang budaya Barat. Pada masa-masa awal, sebelum tisu toilet modern ditemukan, masyarakat Eropa menggunakan berbagai bahan untuk membersihkan diri, mulai dari daun, kain bekas, hingga kulit binatang.Â
Ketika akhirnya tisu toilet diproduksi secara massal pada akhir abad ke-19, produk ini dengan cepat diterima sebagai simbol modernitas dan kebersihan. Inovasi ini kemudian didukung oleh perkembangan sistem toilet kering (tanpa semprotan air) yang umum di negara-negara Barat.
Persepsi Kebersihan yang Berbeda
Bagi masyarakat Barat, penggunaan tisu dianggap sudah cukup untuk menjaga kebersihan. Ini berkaitan dengan persepsi higienis yang berbeda antara budaya Timur dan Barat.Â
Banyak orang Barat menganggap membasahi tubuh setelah buang air sebagai sesuatu yang merepotkan atau bahkan kurang higienis, karena berhubungan dengan kelembapan yang dianggap dapat menyebabkan infeksi kulit jika tidak dikeringkan dengan benar. Sebaliknya, di Asia, membilas dengan air justru dianggap sebagai satu-satunya cara untuk benar-benar bersih.
Di banyak rumah tangga dan fasilitas umum di Eropa dan Amerika, toilet umumnya tidak dilengkapi dengan bidet atau semprotan air. Infrastruktur ini membuat penggunaan air menjadi tidak praktis.Â
Sebaliknya, tisu lebih cepat, tersedia di mana-mana, dan mudah dibuang. Pendidikan sejak dini juga memperkuat norma ini: anak-anak diajarkan untuk menggunakan tisu sebagai bagian dari rutinitas toilet mereka.
Tidak bisa dipungkiri, industri tisu toilet adalah bisnis besar di Barat. Dengan pendapatan tahunan mencapai miliaran dolar, industri ini memiliki kepentingan untuk mempertahankan budaya "tisu first".Â
Iklan-iklan menggambarkan tisu sebagai alat kebersihan utama, menguatkan persepsi publik bahwa air bukanlah kebutuhan mutlak setelah buang air besar.
Namun, perubahan mulai tampak. Seiring meningkatnya kesadaran tentang kebersihan yang lebih optimal serta dorongan untuk hidup lebih ramah lingkungan, bidet dan alat pembilas modern semakin populer di Amerika dan Eropa. Banyak orang mulai menyadari bahwa menggunakan air sebenarnya lebih bersih dan mengurangi konsumsi tisu yang berlebihan.
Refleksi Budaya
Akhirnya, kebiasaan ini menunjukkan bahwa apa yang dianggap "normal" sangat ditentukan oleh budaya, infrastruktur, dan industri. Sesuatu yang kita anggap aneh di negara lain sebenarnya hanyalah hasil dari jalur sejarah dan kebiasaan yang berbeda. Dengan memahami ini, kita bisa lebih menghargai praktik-praktik lintas budaya tanpa menghakimi.