Pagi itu, Banda Aceh terasa lebih hening dari biasanya. Matahari baru saja naik ketika langkah-langkah pelan mulai memenuhi halaman sebuah bangunan tua di jantung kota---Kuil Palani Andawer, satu-satunya rumah ibadah umat Hindu Tamil di provinsi yang dikenal sangat taat menjalankan syariat Islam.
Hari itu, Minggu, 20 April 2025, adalah hari istimewa. Umat Hindu Tamil bersiap merayakan Cithirai Maha Puja, sebuah upacara suci untuk memperingati kelahiran Dewa Muruga. Sejak pukul 09.00 WIB, bau harum dupa mulai menyelimuti udara. Lantunan doa menggema dari dalam kuil. Di tengah Gampong Keudah, suasana religius menyapa dalam wujud yang tak biasa.
Warga masuk ke kuil dengan langkah perlahan, membawa bunga, buah, dan keyakinan. Tidak ada suara gaduh. Hanya mata-mata penuh khusyuk yang berbicara. "Setiap tahun kami rayakan hari ini sebagai bentuk syukur. Doa kami selalu sama: semoga Aceh tetap damai," ucap Pendeta Radha Krisna, 59 tahun, yang sejak lahir menjadi bagian dari komunitas kecil Hindu di Banda Aceh.
Bagi masyarakat luas, kehadiran perayaan ini mungkin tidak terlalu dikenal. Namun bagi komunitas Tamil yang bermukim di sini sejak awal abad ke-20, Cithirai Maha Puja adalah napas spiritual sekaligus pengingat bahwa mereka masih ada---meski kecil, tetap teguh menjaga tradisi.
Kuil Palani Andawer telah berdiri sejak tahun 1934, dibangun oleh imigran Tamil yang bekerja sebagai buruh dan pedagang. Letaknya tidak jauh dari pusat kota, namun kerap luput dari perhatian. Tsunami 2004 sempat menghancurkannya. Namun dua tahun kemudian, bangunan ini berdiri kembali berkat bantuan dari pemerintah kota dan provinsi---sebuah langkah yang sunyi namun bermakna.
"Dulu sempat ada kekhawatiran, apakah kita masih punya ruang di sini. Tapi nyatanya, Banda Aceh memberi tempat," kata Radha.
Perayaan tahun ini terasa lebih meriah. Bukan hanya karena iring-iringan musik dan warna-warni kain sembahyang yang memenuhi kuil, tetapi karena kehadiran warga Muslim setempat yang turut menyaksikan. Sebagian dari mereka berdiri di luar, memotret dengan ponsel, tersenyum melihat arak-arakan archa, patung Dewa Muruga, dibawa mengelilingi halaman kuil.
"Saya baru pertama kali lihat ini," ujar Rizal, warga Gampong Keudah. "Ternyata indah juga. Kita jadi tahu bahwa mereka juga punya cara sendiri untuk mendekatkan diri pada Tuhan."
Prosesi Cithirai Maha Puja berlangsung selama tiga hari. Dimulai dengan penyalaan api suci, dilanjutkan pembacaan kitab Balita, dan diakhiri dengan pelepasan nazar---janji yang ditunaikan oleh umat atas berkah yang mereka rasakan. "Ada yang datang karena pernah sakit, ada yang bersyukur usahanya kembali berjalan. Nazar itu bentuk komitmen mereka pada dewa," jelas Radha.
Tahun ini, tamu-tamu datang tak hanya dari Banda Aceh, tetapi juga dari Medan dan Malaysia. Mereka berkumpul dalam kesederhanaan, membawa semangat yang sama: merayakan keimanan dalam damai.