Mohon tunggu...
M SHOIM HARIS
M SHOIM HARIS Mohon Tunggu... -

Sedang menulis serial novel Santri dan Perubahan: Gadis Penghafal Ayat, Santri Kalong, Santri Blangkon. Seruni (Ke Sydney Tak Ada Jalan Kembali) twitter @_mshoimharis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lailah Bersama Jibril

22 Agustus 2013   17:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:57 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tak perlu takut berlebihan. Bukankah kematian adalah kepastian. Semua yang kita miliki akan kita lepaskan. Semua yang kita cintai akan kita tinggalkan. sama; kita meninggalkan atau ditinggalkan, akan terjadi pada semua manusia. Entah mengapa hatiku sedang rapuh. Hatiku tak setangguh yang sudah-sudah. Kekuatiran masih besar merasuki jiwaku. Padahal sudah jelas, bahwa melahirkan adalah sebuah jalan jihad bagi seorang perempuan. Entah mengapa hatiku tetap ragu dan kuatir. “Ya, Allah, lindungilah jiwa dan ragaku dengan rahman dan rahim-Mu...”

Kurasakan nyeri di perutku. Aku duduk pelan-pelan dengan kaki berselonjor ke lantai. Darah serasa lancar ke ujung kuku. Perutku semakin melilit dan mules. Aku melenguh seperti sapi yang kelaparan minta rangsum. “Ukhh...astagfirullahal adzim....”

“Ning, ada apa?...” suara Ustazah Anik panik dan berlari menghampiriku.

Aku tak menjawab panggilan Ustazah Anik, sibuk dengan rasa sakit.Kupegangi perut bagian bawah –sumber rasa sakit--. Sungguh sakit; melilit dan mules hebat. Vaginaku rasanya bergetar mengikuti bergolaknya rasa nyeri dari dalam rahimku.

“Ning, sabar, nyebut...nyebut...” ustazah Anik mengelus perutku. Lantas berdiri bingung memandangku. Kembali lagi ke hadapanku, mengelus-ngelus wajahku penuh perhatian. Lantas berdiri lagi dengan kebingungan. “Mas Nas, ya Mas Nas.....”

Ia berlari keluar rumah. Belum sampe kaki belakangnya meninggalkan pintu ia membalik badan menujuku. “Ning bisa jalan sebentar ke kamar?” tak membutuhkan jawabanku ia mengangkat bahuku agar segera berdiri. Aku mengerti maksudnya agar aku cepat berdiri dan berjalan ke kamar. Aku mencoba berdiri seraya menahan sakit. Perutku rasanya bergolak. 2 anakku seakan berlari-lari di dalam perutku, seperti 2 anak yang berlarian di lapangan bermain bola atau main perang-perangan.

UstazahAnik menuntunku dengan hati-hati. Badanku direbahkan di atas ranjang tidur.“Nyebut..nyebut.., Ning. Allah...Allah...Allah...Tunggu sebentar, Ning..” ia berlari keluar kamar meninggalkanku.

Perutku semakin melilit dan mules. Berputar-putar isinya. “Ya, Allah...Allah..Allah....” bibirku berucap mengalihkan rasa sakit yang tak terkira. “Allah..Allah..Allah...bibirku, hatiku, pikiranku terus melafazkan kalimah jalalah itu. Pelan-pelan kurasakan sakit yang berkurang. Semakin ritmis aku mengucapkannya; Allah..Allah..Allah...Allah..Entah berapa kali aku menyebutnya; ratusan atau ribuan kali. Mataku terpejam dengan hati dan pikiran yang terjaga melafadzkan kalimat jalalah tersebut. Bacaanku semakin syahdu. Rasa sakit semakin hilang, dan akhirnya benar-benar sirna. Kini aku tak merasakan nyeri. Entah dari mana datangnya ada angin semilir; sejuk dan menyegarkan. Badanku yang layu menjadi bugar kembali.

Aku terduduk segar di hamparan padang rumput yang indah, sejuk dengan takaran yang pas; dingin dan hangat sekaligus. Pada pemandangan yang jauh terjangkau mataku; awan berarak, seperti menari saling bercanda. Udaranya semilir menyegarkan tenggorokanku. Tak pernah aku merasakan hawa lingkungan yang seideal itu. Di manakah aku ?Aku berdiri dan melangkah mengitari sekelilingku. “Indahnya...”

Kakiku menginjak rumput halus yang hijau dan bugar. Anehnya, rumput-rumput itu tak rusak atau lecet daun-daunnya kena injak kakiku. Pada arah tenggara kulihat aneka pohon setinggi kepalaku. Aku menujunya ingin menuruti rasa penasaranku. Pohon-pohon itu berjajar rapi dengan aneka buah yang ranum. Tak semua pohon berbuah itu aku mengenalnya. Beberapa aku tak pernah melihatnya selama ini. Ada buah buah kecil berdempet, ada buah besar yang bergerombol. Semuanya ingin kupetik dan kunikmati. Kudekati pohon yang dirambati anggur dengan buanya yang berkilau. Kupetik buah anggur merah ranum (dilapisi embun pada kulitnya). “Ohh...indahnya taman ini...”

Aku membalik badan saat kudengar suara banyak telapak kuda berbarengan. Kembali aku dikagetkan oleh kedatangan kereta yang ditarik 6 kuda kekar dan gemuk-gemuk. Kuda baris pertama berwarna putih, baris kedua berwarna cokelat, dan baris ketiga (paling belakang dekat kereta) berwarna hitam. Keretanya berwarna perak keemasan dengan penutup kain sutra berendra. “Ohh...indahnya...”

Seorang laki-laki lebih tua sekitar 10 tahun dariku (sangat rupawan) turun dari kereta itu. Ia tersenyum dan semakin melangkah mendekatiku. Aku tersenyum bingung.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, ya umat Muhammad....” Ia kembali tersenyum menawan.

Aku masih bingung. “Wa alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh...”

“Kamu suka berada di sini, Anakku?”

“Woiii...dia memanggil anak padaku?” Aku kaget, gembira dan masih bingung.

“Hayo kemari, Anakku, kau ingin jalan-jalan dengan kereta ini?”

“Hmmm....dia mengajakku jalan-jalan dengan menaiki kereta indah itu?”

“Hayo..kenapa masih ragu? Ini semua milikmu jika kau mau....”

“Hmmm...dia tahu pikiranku...”

Dia tersenyum, seakan mengetahui yang aku pikirkan. “Aku di mana, Tuan?” akhirnya kubuka mulut.

“Kau berada di tempat yang diinginkan semua makhluk yang ada di kolong alam semesta. Inilah tempat keabadian, tempat tujuan peristirahatan terakhir. Sebuah firdaus yang indah dan tenang.”

Aku semakin bingung dengan jawaban lelaki rupawan itu. “Lantas siapakah engkau, Tuan?”

“Oiya, panggil aku bapak, tak usa ‘tuan’ seperti tadi. Kamu bukan budakku atau pegawaiku. Engkau adalah penghuni tempat ini jika kau mau...”

“Bapak...” gumamku.

“Iya, kau panggil aku bapak saja.”

"Bapak siapa?”

Dia diam, lantas tertawa kecil, lebih besar dari pada sekedar senyum, tapi lebih kecil dari pada tertawa biasa.

“Panggillah aku bapak Jibril...”

“Haaa....” akutercengang. “ Bapak Jibril?”

“Kenapa, kau kaget begitu, biasa aja kali...” dia tersenyum lantas tertawa lebih besar dari yang tadi.
“Kau yang membawa ayat-ayat dari lauh mahfudz ke bumi kepada Rasulullah, Muhammad SAW?”

“Iya benar...kenapa emang? Kau tak percaya? Coba kau cubit lenganmu!” lelaki itu tersenyum kembali, seakan merasa lucu melihat kebingunganku. Aku cubit lenganku, berasa sakit. “Ohh...nyata...bukan mimpi.”

“Ya sudah, hayo kemari!. Masuk ke dalam kereta. Kamu duduk di belakang seperti seorang ratu. Aku sebagai kusir memegang kendali kuda-kuda sempurna itu.”

Bapak Jibril membuka pintu dan menyilahkan aku masuk. Aku masuk dan duduk di belakang. Aku singkap kain sutera yang menutupi pemandangan. Kuiket kain itu dengan pengikatnya dari kain sutera juga yang melekat di pinggirnya. Terlihatlah pemandangan yang sangat indah terhampar di depan, kiri dan kananku.

“Kau sudah pernah naik kereta kuda?”

“Belum pernah. Di zamanku sudah tak ada kereta kuda, adanya mobil atau motor...”

“ Ya zaman para Wali Sanga masih ada kereta kuda. Manusia memang selalu berubah hidupnya. Cara hidupnya juga terus berubah..”

Aku terdiam. Kusadari pertanyaan Bapak Jibril tadi hanya basa-basi percakapan. Ia sudah mengetahui hal yang ditanyakannya. Bukankah dia mengetahui yang tak kuketahui. Kalau manusia mengetahui semua hal, rupanya juga tak indah. Manusia tak ada yang bertanya, tak ada dialog, tak ada perbedaan yang biasanya menjadi pemicu perdebatan dan perkelahian.

“Manusia terus melebarkan pengetahuan tentang dirinya dan lingkungannya. Perubahan dari kereta kuda ke mobil berbarengan dengan semakin luas pengetahuan manusia tentang hukum-hukum alam yang sebelumnya belum dipahami.”

“Kalian adalah makhluk yang unik, lengkap dan dinamis. Kalianbisa mengubah wajah dunia yang kalian tinggali dengan hasrat dan pengetahuan.”

Kuda terus berlari kencang. Anehnya kuda-kuda itu berlari tak memberikan efek goncangan pada kereta yang kunaiki. Selayaknya kuda itu tidak berlari dengan menapak tanah, tapi serupa terbang. Tak ada benturan kaki-kaki kuda dan roda pada batu dan tanah yang dinjaknya.

“Enak menjadi malaikat serba tahu dan tak pernah berdosa. Hidup dalam kesucian dan cahaya Ilahi..”

Bapak Jibril memegang kendali dan mengibaskanya pelan. Lantas kuda di depan mendongakkan kepala keatas hendak terbang, dan diikuti barisan kedua dan ketiga. Begitu pula kereta ikut mendongak keatas dan terbang. Ya, kami terbang. “Uhh...ajib....” gumamku.

“Tetapi yang berani menerima amanah mengurusi bumi adalah kalian. Entah kalian merasa mampu atau nekad saja..” Bapak Jibril tertawa ringan. Entah merasa lucu atau mengejek kami bangsa manusia. Kupikir dia tak mengejek. Bukankah malaikat tak punya naluri keburukan?

“Manusia memang aneh, Bapak. Manusia penuh misteri...”

Bapak Jibril kembali tertawa ringan. “Misteri karena ada ruang yang dimengerti dan ruang tanpa pengertian. Itulah hidup manusia. Manusia sepanjang hidupnya memenuhi hasratnya untuk meluaskan pengetahuan. Ya, tanpa henti, karena rasa ingin tahu itu adalah naluri kehidupannya. Kalian tak pernah berhenti mempelajari diri kalian, lingkungan alam di sekitar kalian. Karena Allah sayang kepada kalian maka aku diutusnya memberikan ‘pengetahuan’ kepada kalian lewat Muhammad SAW.” Bapak Jibril begitu khusu’ mengucapkan shallallahu alai wasallam di belakang nama Nabi Muhammad. Sebuah tanda penghormatannya pada Rasulullah SAW.

“Pengetahuan Ilahiyyah yang berjuluk; Al Kitab, Al Huda, Al Furqan, An Nur, Al Qur’an, dll itu untuk melengkapi pengetahuan yang kalian dapatkan dari pencarian kalian tentang diri dan lingkungan alam serupa yang kita bilang tadi.”

“Kok melengkapi? Berarti kalau tak ada pengetahuan Ilahiyyah itu manusia juga tak apa-apa, hanya tidak lengkap saja?”

Bapak Jibril kembali tertawa ringan.

“Akal pikiran, alam semesta juga dari Allah. Sama juga kalau kalian hanya berpatokan pada pengetahuan Ilahiyyah juga tak lengkap tanpa pengetahuan yang kalian gali lewat kerja-kerja akal dan observasi pada alam semesta. Kalam Allah berisi hukum moral, alam semesta adalah pengetahuantentang hukum alam. Keduanya diperlukan, tak dapat dipisahkan bagi kehidupan kalian yang benar dan indah di bumi. Tetap rawatlah dua pengetahuan itu untuk hidup kalian. Di sanalah manusia percaya dirinya mampu menerimah amanah yang ditolak segenap makhluk. Manusia berani menerimah amanah Allah karena mempunyai dua metode mendapatkan pengetahuan; dari yang telah kusampaikan kepada Muhammad SAW sebagai wahyu dan melalui akal pikiran kalian menggali dari hukum-hukum alam (dalam diri kalian dan lingkungan alam semesta).”

Kereta melewati gugusan awan-awan putih seperti gumpalan salju. Kubuka sedikit jendela dan kujulurkan tanganku menggapai awan putih itu. Seperti kapas yang bersih.Kereta terus menembus awan-awan putih, dan aku seperti tertidur (dalam kedamaian dan ketenangan yang belum pernah aku rasakan selama ini).

Aku membuka mata dan terbelalak telah berada di sebuah ruangan yang sangat megah. Pilar-pilar besar penuh ukiran (lebih mirip kaligrafi) keemasan dan berkilau warna-warni. Langit-langitnya yang putih teduh, tidak menyilaukan. Ada kursi-kursi perkasa dan elok; menggambarkan sebuah kekuasaan yang kukuh. Tidak salah, ini singgasana. Kupalingkan wajah ke kanan dan kiri, dan juga ke belakang. Terlihat wajah-wajah tegap lengkap dengan seragam serupa prajurit kerajaan yang gagah. Benar, tak salah, ini sebuah singgasana.

“Hayo, Anakku, turunlah! Ini Singgasana Bapak Izrail..”

Aku terkejut seketika Bapak Jibril menyebut nama Izrail. Kututupi raut mukaku dengan turun dari kereta dan duduk di kursi di depan Bapak Izrail yang dingin.

“ Salam alaikum...”

Aku menjawab salam Bapak Izrail.

“Semua manusia akan menemui ajalnya, di mana tak ada yang dapat menundanya jika ajal itu telah tiba waktunya. Bapak Izrail yang ditugasi menyimpan daftar nama dan waktu ajal setiap manusia.”

“Kau masih punya waktu, Anakku. Segeralah kembali ke bumi” kata bapak Izrail.

“Aku suka tempat ini Bapak. Sepanjang perjalanan aku merasakan kedamaian.”

“Ajalmu belum tiba, Anakku. Pada suatu hari kau akam kembali pada alam keabadian.”

Aku memandang Bapk Jibril. Ia mengangguk kecil, seakan membenarkan perkataan Bapak Izrail.

“Ajal tak perlu dicari, anakku” ujar Bapak Jibril. “Tetapi tak perlu juga ditakuti” lanjutnya dengan mimik serius. “ Bagi manusia beriman dan beramal saleh; kehidupan di dunia dan di akhirat adalah kesinambungan. Di dunia adalah saatnya memelihara kehidupan dunia yang diamanahkan kepadanya; dengan bekal pengetahuan tentang ayat-ayat qauliyyah dan ayat-ayat kauniyyah. Di akhirat adalah tempat kembali untuk menimbang segala ikhtiar yang telah dilakukannya di dunia.”

“Nggeh, Bapak.”

Bapak Jibril berdiri menghampiriku dan menggandengku untuk memandang pada dinding yang sejak tadi kubelakangi. Bapak Izrail juga mendekatiku berdiri di samping kiriku. Bapak Jibril memegang tongkat dan menunjuk pada arah didnding yang kami pandangi. Muncullah gambar seperti dalam sebuah layar bioskop. Ada tubuh perempuan muda buncit yang tergeletak di sebuah ruang UGD Rumah Sakit. Ada beberapa perempuan dan laki-laki yang mengitarinya, dengan kebingungan dan kesedihan.

“Lanjutkan hidupmu, Anakku. Tebarkan salam (kedamian) di seluruh muka bumi Allah. Bawalah wahyu sepanjang hidupmu dalam untaian pengetahuan yang kau gali dari akal-pikiran dan observasimu terhadap alam di mana kamu hidup.”

“Nggeh, Bapak...” kupandangi gambar dalam dinding itu. Perempuan dan laki-laki yang merubunginya semakin panik, dengan mengusap-usap kepala, tangan, bahkan perutnya yang mebuncit. “Astangfirullahal adzim....” gumamku.

“Mari kita berdoa, Anakku. Kau yang mimpin berdoa, kami mengamininya.” Bapak Jibril dan Bapak Izrail sudah menengadakan tangannya. Bersiap mengamini doaku.

Awalnya aku ragu memimpin doa itu. Entah darimana keberanian muncul, kupimpin doa itu. Dua malaikat itu mengamini doaku. Aku bershalawat kepada Rasul, dan meminta kekuatan untuk memeliharaamanah yang Allah berikan pada manusia; memelihara kehidupan di atas bumi.

Mojokerto-Bekasi 18-08-2013

Lengkapnya dalam Novel Santri Blangkon (buku ketiga serial Santri dan Perubahan)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun