Mohon tunggu...
Mohammad Rasyid Ridha
Mohammad Rasyid Ridha Mohon Tunggu... Buruh - Bukan siapa-siapa namun ingin berbuat apa-apa

Pekerja di NKRI Pengamat Sosial, pecinta kebenaran...Masih berusaha menjadi orang baik....tak kenal menyerah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wasiat Pengkhotbah

10 Juni 2021   11:38 Diperbarui: 10 Juni 2021   12:06 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa tahun lalu ada seorang motivator yang sangat terkenal dan sering muncul di layar kaca. Setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah motivasi dan nasehat bijak yang begitu menghipnotis banyak orang. Hidupnya seolah-olah tidak pernah susah, bahagia sepanjang waktu. Sosoknya terlihat begitu sempurna, menjadikannya panutan bagi banyak orang.

Kini kemunculannya di layar kaca sudah sangat jarang semenjak kisah perseteruan dengan anak kandungnya menyeruak ke permukaan. Reputasi yang bertahun-tahun dibangunnya seolah-olah runtuh dalam sekejap mata. Bayangan orang tentang kesempurnaan diri dan hidup si motivator seperti sirna tak berbekas.

Bayangan orang tentang nasehat dan kata-kata bijak yang dulu dilontarkan si motivator hanya menjadi kumpulan kata-kata saja tanpa suatu makna. Kering dan kosong, mungkin itu padanan yang tepat untuk menggambarkannya. Kata-kata bijak itu telah kehilangan daya magisnya, seiring dengan memudar dan lunturnya kharisma sang penutur.

Apakah seorang tidak boleh berbuat salah? Rasa-rasanya tidak mungkin orang yang begitu sempurna tanpa kesalahan kecuali nabi. Sangat wajar jika seorang motivator, penceramah, pengkhotbah, alim ulama, tokoh masyarakat berbuat kesalahan dalam hidupnya. Namun ketika masyarakat telah menganggap mereka sebagai role model yang penuh kesempurnaan, maka satu kesalahan saja yang muncul akan menghilangkan kekuatan kata-kata yang keluar dari tuturannya.

Orang mungkin benar ketika mengatakan "don't judge the book by the cover", namun pemikiran sebaliknya juga tidak bisa dikatakan salah. Kenapa orang cenderung percaya pada kata-kata pengkhotbah atau motivator? Karena bungkus atau casing mereka bagus, terlihat sempurna dibanding kebanyakan orang. Coba ketika kata-kata bijak, nasehat datang dari orang biasa yang tiap hari terlihat kerjaannya hanya nongkrong di pinggir jalan, apakah kita akan percaya?

Seorang pengkhotbah ketika sedang berceramah maka esensinya dia sedang menasehati dirinya sendiri baru orang lain. Oleh karenanya dalam mimbar-mimbar khotbah Jumat, khatib sering mengawali khotbahnya dengan berkata "khatib berwasiat untuk diri khatib sendiri dan jamaah sekalian....". Mungkin hal ini sering dilupakan sehingga penghotbah, motivator meletakkan dirinya sebagai sumber nasihat, sementara audiennya adalah objek atau target nasehat.

Maka menjadi penting bagi para penghotbah, motivator untuk menjaga setiap perilaku dan "casing" dirinya tetap baik lagi terjaga di mata masyarakat, meskipun yang terpenting adalah di mata Tuhannya. Untuk itu maka mereka harus berprinsip bahwa kata-kata, nasehat yang keluar pertama-tama adalah untuk dirinya sendiri, baru selanjutnya orang lain. Ketika urusan menasehati untuk diri sendiri sudah beres, maka tinggal konsisten mengamalkannya dan membuat perilaku dirinya terjaga.

Jangan sampai muncul istilah "Jarkoni" bagi para motivator, pengkhotbah, alim ulama maupun tokoh masyarakat. Jarkoni adalah akronim dari kata "bisa ngajar ora nglakoni" yang maksudnya adalah, "bisanya mengajarkan (ngomong) saja, dia sendiri tidak bisa menjalani". Memang menjadi orang yang biasa memberikan ceramah dan nasehat itu berat, karena seolah-olah dituntut menjadi manusia tanpa cela.

Pun demikian sekalipun suatu saat sang pengkhotbah terkena masalah, tetap saja kita harus respek terhadapnya. Pegang lah ungkapan yang menyatakan "jangan lihat siapa yang mengucapkan, tapi lihatlah apa yang diucapkan". Meskipun ungkapan tersebut terasa berat dijalankan, namun patut untuk mengusahakannya sekuat diri kita.

Sama halnya ketika ada seorang penghotbah yang menganjurkan agar audiennya jangan pernah menzalimi orang. Padahal saat bersamaan audiennya mengetahui bahwa dalam beberapa kesempatan si pengkhotbah pernah menzalimi orang. Anjuran dari pengkhotbah adalah kebaikan yang semestinya audien terima, pun saat yang bersamaan mereka harus menata hati karena anjuran tersebut keluar dari pengkhotbah yang "Jarkoni". Memang berat menjalani peran sebagai pengkhotbah, anda mau?

MRR, Bks-10/06/2021

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun