Mohon tunggu...
Mohammad Rasyid Ridha
Mohammad Rasyid Ridha Mohon Tunggu... Buruh - Bukan siapa-siapa namun ingin berbuat apa-apa

Pekerja di NKRI Pengamat Sosial, pecinta kebenaran...Masih berusaha menjadi orang baik....tak kenal menyerah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekaratnya Sang Penjaga Moral

16 Desember 2020   12:28 Diperbarui: 16 Desember 2020   12:29 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbicara mengenari preferensi, tiap orang akan memiliki selera yang berbeda-beda. Dalam KBBI preferensi diartikan sebagai pilihan; kecenderungan; kesukaan. Preferensi seseorang bisa meliputi makanan, gaya busana, film, politik, dan lain sebagainya. Tak ada yang salah, karena pada dasarnya manusia itu suka memilih, entah berdasarkan kesukaan, akal pikiran, terkadang hati Nurani.

Tak jarang orang menunjukkan preferensinya pada orang lain, atau malah di depan umum. Semisal saya yang terkadang lebih memilih sroto daripada rawon dan mengajak orang lain untuk mencoba makanan tersebut. Itu salah satu contoh preferensi saya tentang makanan.

Sebagai public figure, Dahlan Iskan juga sering menunjukkan preferensinya dalam hal gaya bersepatu. Tak jarang dalam acara-acara resmi sekalipun Dahlan mengenakan sepatu Kets, biarpun dengan busana jas lengkap. Bahkan ketika dilantik menjadi menteri BUMN, Dahlan Iskan tetap mengenakan sepatu Kets, dan tidak ada orang yang memprotes.

Dalam banyak hal tidak menjadi soal ketika seseorang menampakkan preferensinya di muka umum selama tidak mengganggu kepentingan orang lain. Pun demikian, hal berbeda terjadi ketika kita menampilkan prefererensi politik di hadapan umum. Preferensi politik lebih cenderung pada hal dukung mendukung partai politik, calon kepala daerah, calon presiden. Dan yang sedang didukung ini adalah para peserta yang sedang berkompetisi dalam sebuah pacuan demokrasi.

Seringkali preferensi politik membuat baper orang-orang yang preferensinya tidak sama, apalagi yang berkompetisi secara tajam. Persaingan yang tajam seringkali meninggalkan luka yang mendalam bagi para pendukung peserta pacuan demokrasi  baik yang terang-terangan menunjukkan preferensi politiknya maupun yang tidak.

Labelling

Dalam banyak hal bagi orang-orang dengan posisi sebagai alim ulama, tokoh agama, ustad lebih aman untuk "menyembunyikan" preferensi politiknya daripada secara terang-terangan membukanya di depan umum. Sekali lagi harap diingat karena preferensi politik ujung-ujungnya adalah dukung mendukung pada salah satu peserta kontestasi politik.

Tentu kita ingat bagaimana Yusuf Mansur (YM) mendukung Jokowi dalam Pilpres 2019, sementara Abdul Somad (UAS) berada di seberangnya dengan mendukung Prabowo Subianto. Sementara Jokowi dan Prabowo sudah berangkulan mesra dalam kabinet, para mantan pendukungnya masih saja melanjutkan peperangan dalam kontestasi yang lain. Hal ini berefek pada umatnya YM dan UAS setelah Pilpres selesai.

Baik golongan yang dikenal sebagai "cebong" ataupun "kampret" akan meninggalkan ustad yang memiliki preferensi politik berbeda dengan mereka. Jadi yang tadinya ustad atau alim ulama tersebut berdiri menaungi berbagai macam golongan orang dengan preferensi politik yang berbeda-beda, kini dianggap tidak lagi menjadi milik bersama. Ustad tersebut akan terlabel atau terstigma sebagai pendukung salah satu kubu, sehingga kalau ada ucapan, nasehat, kritik pada kubu yang lain akan dianggap karena ketidaksukaaannya. Padahal mungkin apa yang dimaksudkan oleh si ustad adalah sesuatu yang benar dan objektif, namun karena label yang melekat pada dirinya maka banyak orang yang tidak mau menerima.

Begitu dahsyatnya labelling, maka jangan berharap ungkapan ""lihatlah apa yang dikatakan dan jangan lihat siapa yang mengatakan" bisa serta merta diterapkan sekalipun itu diucapkan seorang ustad atau alim ulama. Ustad maupun alim ulama yang sejak awal berdakwah memposisikan dirinya tidak ikut dalam politik praktis, perlu berpikir ulang ketika terlibat dukung mendukung paslon atau parpol dalam kontestasi demokrasi atau pemilu. Terkecuali bahwa mereka memang memutuskan untuk terjun langsung dalam politik praktis dan aktif di Parpol.

Banyak juga fenomena ustad, kyai, alim ulama yang mendukung salah satu pasangan calon dalam pesta demokrasi dan paslon tersebut kalah. Tidak sekali dua kali saja paslon yang didukungnya kalah, bisa jadi berkali-kali. Hal ini tentu akan menurunkan kredibilitas dari si pendakwah. Orang akan berasumsi bahwa pendakwah itu derajatnya tinggi, dekat dengan Tuhan, namun kok dukungannya pada salah satu paslon tidak manjur. Jangan-jangan pendakwah tersebut bukan lagi pewaris para nabi, orang yang hatinya suci dan doanya menembus langit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun