Mohon tunggu...
Mohammad Rasyid Ridha
Mohammad Rasyid Ridha Mohon Tunggu... Buruh - Bukan siapa-siapa namun ingin berbuat apa-apa

Pekerja di NKRI Pengamat Sosial, pecinta kebenaran...Masih berusaha menjadi orang baik....tak kenal menyerah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Korupsi Memang Selalu Istimewa

4 Maret 2018   21:52 Diperbarui: 4 Maret 2018   22:33 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengkategorikan korupsi sebagai suatu kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime rasa-rasanya memang pas. Bukan hanya karena kerusakan yang diakibatkan korupsi begitu dahsyat, namun dari sejak penanganan awal perkara, perlakuan pada si Pelaku korupsi selama penyelidikan dan penyidikan, hingga perlakuan pada saat di penjara memang terasa istimewa.

Maka bukan sesuatu yang mengagetkan bahwa beberapa hari yang lalu muncul kesepakatan bersama atau MoU antara Kementerian Dalam Negeri bersama dengan Kejaksaan Agung, Polri dan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) mengenai kerja sama soal penanganan laporan masyarakat atas dugaan korupsi di pemerintah daerah. Salah satu yang istimewa dalam MoU itu adalah jika oknum pejabat daerah yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi berniat mengembalikan uang negara yang dikorupsi, Polri atau Kejagung bisa mempertimbangkan penghentian perkara yang bersangkutan.

Jadi berandai-andai apabila saya korupsi 1 triliun  rupiah dan uang tersebut kemudian disimpan di bank dalam bentuk deposito dengan bunga 5% per tahun, maka selama setahun pundi-pundi saya akan akan bertambah 50 milyar rupiah. 

Syukur-syukur tidak ketahuan, maka harta hasil korupsi saya yang 1 triliun rupiah akan tetap aman dan berkembang biak. Namun suatu saat perbuatan korupsi tersebut ketahuan, maka cukup saya kembalikan pokoknya yang 1 triliun rupiah dan berharap perkara korupsi ini tidak dilanjutkan pidananya. Selepas tidak dilanjutkan pidananya saya pun masih bisa menikmati uang hasil pengembangan dari duit yang dikorupsi, contohnya bunga deposito 50 milyar rupiah tadi.

Saya tidak tahu mengapa harus ada MoU seperti disebutkan di atas. Barangkali dengan sangat masifnya para pejabat yang terkena kasus korupsi, kena OTT KPK, akan mengakibatkan roda pemerintahan tidak berjalan. Mungkin juga para pejabat menjadi takut mengambil keputusan yang bisa berujung kerugian negara, sehingga serapan anggaran rendah dan ujung-ujungnya mengganggu roda perekonomian.

Ketidaktahuan saya akan MoU di atas sama juga dengan ketidaktahuan saya akan  keputusan DPR membuat dan mengesahkan  UU MD3 di bulan lalu dimana terdapat tiga pasal kontroversial yang mengatur mengenai hak imunitas, ancaman pidana atas kritik terhadap dewan serta panggil paksa bagi rekan kerja DPR yang mangkir rapat. Soal hak imunitas, ternyata para wakil rakyat, wakil kita semua, meminta agar pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Barangkali banyaknya kasus korupsi dan OTT KPK yang melibatkan anggota dewan, para wakil rakyat, turut mendorong suasana kebatinan mereka agar diberi hak imunitas.

Sulit untuk tidak menghubungkan antara soal imunitas ini dengan perlindungan dari perkara korupsi bagi wakil rakyat. Patut diduga faktor korupsi menjadikan para wakil rakyat meminta soal imunitas, perbedaan perlakuan di antara sesama warga negara. Fakta menunjukkan biasanya korupsi yang dilakukan oleh oknum anggota dewan tidak dilakukan sendirian, namun berjamaah dengan sesama koleganya di dewan. Contoh nyata adalah kasus e-KTP maupun wisma atlet yang melibatkan banyak anggota dewan.

Membicarakan korupsi maka 180 derajat bedanya dengan kasus pencurian ayam. Pelaku pencurian ayam biasanya masuk ke dalam sel tahanan sudah tidak bisa ceria, apalagi melambai-lambaikan tangan seperti para koruptor yang baru diperiksa oleh KPK dan diliput awak media massa. Para pelaku kriminal seperti pencuri ayam diperlakukan seperti pelaku kejahatan lainnya, tidak diistimewakan, bahkan kerap nahas nasibnya padahal secara esensi dengan koruptor hampir sama, yaitu sama-sama mencuri.

Korupsi biasanya dilakukan oleh orang yang punya kedudukan, berpengaruh, punya kuasa. Banyaknya harta hasil korupsi menyebabkan para koruptor bisa membayar pengacara papan atas untuk membelanya, berkebalikan dengan maling ayam yang sudah pasti orang miskin. Ketika sudah divonis bersalah dan dimasukkan ke dalam penjara, para terpidana korupsi juga masih bisa membeli kemewahan dan kebebasan.

Investigasi majalah Tempo beberapa waktu yang lalu pernah membongkar kemewahan para koruptor di dalam penjara serta keluar masuknya mereka ke luar tahanan atau penjara. Tentu kita masih ingat juga dengan kasus Gayus Tambunan, yang tersangkut kasus korupsi puluhan milyar rupiah dan bisa berpelesiran ke Bali dan Makau padahal sedang menjalani hukuman penjara dan ditahan di lembaga pemasyarakatan. Gayus saja yang cuma korupsi puluhan milyar bisa berbuat seperti itu, bagaimana dengan koruptor lain yang korupsi ratusan milyar bahkan triliunan rupiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun