Mohon tunggu...
Mohammad Rasyid Ridha
Mohammad Rasyid Ridha Mohon Tunggu... Buruh - Bukan siapa-siapa namun ingin berbuat apa-apa

Pekerja di NKRI Pengamat Sosial, pecinta kebenaran...Masih berusaha menjadi orang baik....tak kenal menyerah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memaafkan Itu Lebih Baik

8 November 2017   07:44 Diperbarui: 8 November 2017   09:25 984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"I forgive you" seru Peter Parker si "Spiderman" terhadap manusia pasir, musuh yang tanpa sengaja telah membunuh Ben (paman Peter Parker), setelah dia menceritakan situasi dan kondisi, serta bagaimana peristiwa pembunuhan tersebut terjadi. Demikian salah satu ending dari film Spiderman 3 yang baru saja saya tonton. Peter Parker memilih untuk memaafkan si manusia pasir sebagai pilihannya, memilih membuang dendam yang menghiasi jiwa dan pikirannya.

"Apapun yang kita hadapi, seberat apapun pertikaian dalam diri kita, selalu ada pilihan. Siapa diri kita ditentukan pilihan kita, dan kita selalu bisa memilih yang benar" kata Peter Parker menceritakan nasehat yang diberikan Harry, teman dekatnya. Itulah kelebihan manusia menurut saya, dimana hidupnya selalu diwarnai pilihan, sedikitnya adalah dua pilihan, ya atau tidak.

Akhir-akhir ini kehidupan berbangsa dan bernegara kita seperti dipenuhi dengan, amarah, dendam, kebencian, hoax, dan serangan kebencian yang berseliweran di media massa. Bangsa ini begitu mudah terpolarisasi menjadi 2 kutub, pendukung pemerintahan dan oposan, nasionalis vs agamis, pancasilais dan anti Pancasila, pendukung kebhinekaan dan anti kebhinekaan, pendukung NKRI dan anti NKRI dan seterusnya. Begitu gampangnya kita menggolong-golongkan dan mengkelompok-kelompokkan orang hanya berdasarkan sesuatu yang kadang-kadang terasa dangkal dan tidak esensial, lebih kepada ketidaksukaan pada suatu golongan atau kelompok tertentu. Begitu gampang kita menyalahkan kelompok-kelompok lain yang tidak sepaham dan bertentangan.

Mungkin ini patut diduga efek dari Pemilu Presiden 2014 dan Pilkada DKI 2017 sehingga saya merasakan kondisi yang sangat terasa polarisasinya. Barangkali hal tersebut sebagai ongkos yang harus dibayar dalam pendewasaan berdemokrasi dan segala euforianya. Namun ongkos tersebut menurut saya terlalu mahal. Bagaimana kohesi sosial, kemajemukan, kerukunan dan kearifan lokal yang selama ini terpelihara dengan baik tiba-tiba menghilang. Bukankah selama bertahun-tahun kerekatan itu telah terjalin, terbina, dan terimplementasikan.

Kembali lagi menjadi pilihan bagi bangsa Indonesia, mau kembali kepada kerukunan nasional dengan mengutamakan kearifan lokal bangsa atau tidak. Kebenaran akan sangat relatif dengan menggunakan akal pikiran manusia, sehingga wajar bila satu dan lain orang memiliki perspektif berbeda tentang suatu hal. Dan atas perbedaan itu maka menjadi keumuman apabila muncul pertentangan, perdebatan hingga akhirnya gesekan. Namun ketika dikembalikan kepada konteks alam demokrasi, seharusnya hal tersebut tidak menjadi masalah. Akan tetapi ketika para pelaku membawa masalah perbedaan tersebut kedalam hati alias Baper, maka yang kemudian berbicara adalah emosi yang diselimuti interest pribadi dan kelompok. Tak menutup kemungkinan kita maupun kelompok kita menyinggung dan/atau tersinggung dalam interaksi dengan orang/kelompok lain. Atas hal ini maka saling memaafkan adalah pilihan saya, dimana hal ini juga saya harapkan dari bangsa ini.

Saling memaafkan diantara komponen bangsa akan mengembalikan kerukunan nasional sebagai modal utama kemajuan bangsa. Memaafkan sesuatu yang menyinggung dan menyerang kita adalah pilihan yang benar, dengan tidak melupakan peristiwa yang terjadi, bahasa kerennya memaafkan tapi tidak melupakan. Setiap peristiwa pasti punya cerita, hikmah, dan pelajaran sendiri yang bisa kita petik dan renungkan, bukan untuk dilupakan. Jangan mudah teradu domba, dan menganggap kita yang paling benar, tetapi memilih yang benar adalah pilihan yang semestinya kita ambil. Ingatlah, bangsa ini membutuhkan kerjasama semua komponen anak bangsa, sebagai satu kesatuan yang akan mendorong bahtera besar yang bernama Indonesia maju ke depan.

Menjadi seorang pemaaf adalah pilihan baik nan benar yang mesti menjadi landasan kehidupan bersosial kita. "Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim." (Q.S. Asy-Syura: 40)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun