Mohon tunggu...
Muhammad RifqiFawzi
Muhammad RifqiFawzi Mohon Tunggu... Lainnya - Sura jaya ningrat lebur denging pangestuti

panggil saja rifqi, lahir dari kota kecil ditengah jawa timur, pasuruan. Namun, tak menjadi alasan bagi rifqi untuk belajar dan berbagi pengalaman. dibesarkan lewat keluarga sederhana dengan ayah sebagai pegawai swasta dan bunda sebagai ibu rumah tangga yang baik. harapan besar tumbuh sebagai manusia yang bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

The Worst of The Worst, Titik Terendah dalam Hidup

7 Juni 2020   01:47 Diperbarui: 7 Juni 2020   01:55 2081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reflections in a Broken Hand Mirror, Paul Hutchinson, 2002, encaustic on cotton 1500 X 1350mm (sumber: paulhutchinson.co.nz)

Setiap manusia di Bumi pasti memiliki masalah, mengapa demikian? Karena memang pada hakikatnya manusia tidak akan pernah lepas dari masalah, masalah itu datang tanpa kita sadari sebelumnya dan kita juga tidak mengetahui seberapa besar bobot masalah yang akan kita dapatkan.

Bahkan apabila kita melihat jauh sebelum manusia ada di muka Bumi kita sama sama tahu bahwa manusia bisa berada di Bumi karena adanya suatu masalah, itu artinya masalah adalah hal yang sangat biasa dalam berkehidupan di Bumi.

Namun, beberapa manusia pasti setidaknya pernah merasakan berada didalam titik terendah dalam hidup, walaupun sebetulnya belum tentu itu menjadi titik terendah mereka karena tidak ada yang bisa menjamin apakah masalah yang lebih besar tidak akan dating dikemudian hari.

Awalnya, mungkin kita merasakan setiap hal di Bumi serasa ada digenggaman kita, merasa banyak orang yang menyukai kita, kekuasaan, kesombongan, keserakahan dsb. 

Lalu pemilik-Nya mengambil semua apa yang telah Ia berikan sehingga permasalahan terhadap sikap diri sendiri, sikap terhadap orang lain bahkan perilaku diri sendiri yang berpengaruh terhadap orang lain membuat keadaan semakin lama semakin memburuk sehingga kita tersadar telah mencapai titik terendah dalam hidup.

Ketika kita berada di titik terendah dalam hidup mungkin bisa dikatakan kita akan bercermin terhadap diri kita sendiri maka kita akan merasa "jijik" terhadap diri sendiri karena sebuah kondisi dimana masalah terus datang bertubi tubi, merasa lelah, merasa malu, bahkan kehilangan jati diri.

Rasanya sangat berat untuk berdamai dengan diri sendiri dan keadaan, mereka yang telah membuat hidup terpuruk atau bahkan diri sendiri yang telah membuat hidup semakin terpuruk. 

Inilah sebuah titik dimana dunia terasa jungkir balik. Satu-satunya perasaan yang bisa kita rasakan hanyalah perasaan negatif seperti sedih, gelisah, juga kehilangan energi dan motivasi.

Hidup memang tak semudah melafalkan "I love my life so you should love your life as much as I do" dengan lantang. Namun justru perlahan saya tersadar bahwa dititik ini mungkin kita akan bisa membuat perubahan besar dalam hidup kita dan hanya ada 2 pilihan antara mau atau tidak mau, mau bangkit atau hanya tetap terpuruk dalam kondisi yang demikian. Satu hal yang mesti kita pahami dan ingat, titik terendah bukanlah titik terakhir. 

Dan yang mesti kita lakukan bukanlah menunggu datangnya keajaiban yang bisa mengubah seluruh hidup ini, tapi kita harus bangkit, berjuang untuk menemukan dan meraih titik tertinggi dalam hidup kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun