Mohon tunggu...
M. Ridwan Umar
M. Ridwan Umar Mohon Tunggu... Dosen - Belajar Merenung

Warga Negara Biasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mampukah Startup Edu-Tech Mengalahkan Institusi Pendidikan Konvensional?

11 Oktober 2019   20:00 Diperbarui: 12 Oktober 2019   12:16 1186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
iStock via gotomeeting.com

Tulisan ini diinspirasi dari perkembangan startup -sebutan untuk bisnis berbasis teknologi informasi- yang lagi marak saat ini. Gebrakan startup ini mampu membuat bisnis konvensional kelimpungan, bahkan bangkrut. Menyebabkan, ribuan orang hengkang dari bisnis "as usual". Contohnya  startup transportasi online itu.

Namun, perkembangan startup berbasis digital tentu bukan tanpa cela. Ada juga startup yang bangkrut, kolaps. Ada yang melakukan PHK. Silahkan baca berita minggu ini, di mana perusahaan startup ternama di Amerika, WeWork, gulung tikar, padahal valuasinya sudah triliunan.

Di Indonesia ada satu startup terkenal yang melakukan PHK juga. Katanya, untuk efisiensi. Penyebab bangkrut juga karena mis-manajemen, termasuk karakter buruk pengelola.

Ada pengelola yang berfoya-foya dan besar pasak dari tiang, seperti WeWork tadi. Selain itu, karena startup tidak mampu mempertahankan pelanggan atau model bisnis yang tak lagi menarik.

Kesimpulannya, kompetisi bisnis startup sangat keras. Setiap menit, pemainnya harus jeli membidik pasar, memberikan pelayanan unik dan tentunya murah. Setiap hari, mereka harus memikirkan ide kreatif, inovatif, dan bisa beroperasi dalam jangka panjang.

Jika tidak? Yah bangkrut lah. Jadi, mendirikan startup bukan sekedar membuat aplikasi lalu memasarkannya. Tidak gampang. Pelaku bisnis startup sering salah persepsi. Seolah-olah, dengan membuat aplikasi dan konsumen tertarik, habis cerita.

Padahal, startup harus memiliki perencanaan matang, analisa berkelanjutan, dan kemampuan mempertahankan layanan. Improvisasi dan inovasi tanpa henti adalah kunci.

Upss, sebelum terlalu jauh melenceng, mari kita fokus membahas startup edu-tech, sesuai judul di atas. Kita kembali ke laptop. Pertanyaannya, "Mampukah startup edu-tech mengalahkan institusi pendidikan resmi?", katakanlah sekolah, kursus, bahkan perguruan tinggi?

Sebelumnya, untuk menyamakan persepsi, yang dimaksud edu-tech, adalah perusahaan berbasis digital yang bergerak di bidang pendidikan.

Di Indonesia, lebih dari 30 startup edu-tech muncul. Salah satu yang terkenal adalah RuangGuru.com itu. Perusahaan berbasis pendidikan ini sedang naik daun dan gencar membidik customer Indonesia, baik siswa maupun orangtua.

Kenapa bisa gencar? Iklan nya itu lho. Biayanya puluhan miliar. Terobosan startup edu-tech itu terbilang keren. Para user baik siswa maupun mahasiwa dilayani secara online untuk mendapatkan berbagai kursus atau pelajaran secara atraktif dan online.

Untuk menarik minat, mereka memasang iklan secara masif pula. Puluhan miliar angkanya. Memang sih, salah satu kekuatan startup digital adalah modal besar yang dimiliki termasuk edu-tech. Investor startup rela mengeluarkan uang banyak. Adu kapital, ceritanya.

Mereka tidak "sayang" mengelontorkan puluhan bahkan ratusan miliar menggenjot startup. Uniknya, uang itu banyak hanya "dibakar". Misal memberi promo dan diskon besar-besaran.  

Secara cash flow, startup itu belum untung di awal. Namun, inilah rahasianya. Bagi investor dan pengelola bisnis startup, yang dicari adalah nilai valuasi atau potensi uang yang akan digarap dan dihasilkan, setelah pelanggan bergabung, baru profit. Jadi, siapa yang kuat menahan modal.

Di atas kertas mungkin terlihat rugi, namun dalam jangka panjang, untung besar menanti. Hebat ya.

Terkait edu-tech tadi, Menteri Kominfo mengatakan bahwa mereka ini adalah "The Next Unicorn". Oh ya, Unicorn adalah sebutan untuk startup yang telah memiliki valuasi 1 miliar dollar atau 14 triliun. Artinya, edu-tech itu telah dianggap sejajar dengan marketplace ala Lazada, Tokopedia, Bukalapak yang sudah terkenal itu.

Startup edu-tech tentu akan menjadi lawan tangguh lembaga pendidikan "konvensional". Kalau dirangkum, beberapa faktor yang membuat edu-tech ini diminati dan pantas dikhawatirkan pemain lain, yaitu:

1. Edu-Tech menawarkan model pendidikan praktis dan memberi nilai tambah. Dikemas dengan menarik dan menjangkau lebih banyak orang. Pengunaan gadget yang praktis adalah kunci utama.

2. Edu-tech didukung pendanaan yang besar dan dikelola dengan manajemen efisien. Mereka tidak ragu mengeluarkan dana puluhan milyar.
Tak heran, promosinya juga "gila-gilaan". Sangat berbeda dengan promosi yang dilakukan lembaga pendidikan konvensional yang biasanya kecil dan menjadi pelengkap saja. Mereka takut promosi jika tak tergambar keuntungannya.

3. SDM yang dimiliki startup edu-tech didominasi kalangan profesional. Sewaktu-waktu mereka bisa diganti dengan fresh employer. Maklum, mereka mampu membayar tinggi.

4. Dana yang besar untuk melakukan riset tersedia. Riset yang dilakukan adalah riset pengrmbangan produk, bukan riset dasar seperti yang dilakukan banyak perguruan tinggi.

5. Mereka mudah berkolaborasi dengan lembaga keuangan. Lalu, dengan point-point di atas, apakah lembaga pendidikan konvensional akan kalah dan tutup? Ini memerlukan riset dan analisis mendalam.

Untuk mengatakan "kalah" atau akan "tutup" tentu tidak mudah. Apalagi kalau lembaga pendidikan konvensional itu segera menyadari tantangan ini dan lantas merubah diri. Permainan pasti menjadi seru, bukan?

Lagipula, pemain startup di bidang edu-tech tadi, toh biasanya "hanya" menembak sasaran dan memposisikan diri sebagai brigdging (menjembatani) semata. Misal menjembatani siswa SMU ke perguruan tinggi, atau SD ke SMP dan SMU.

Atau, mereka menangkap ceruk pasar berupa peningkatan kualitas pelajaran siswa, bukan langsung "menghajar" lembaga utama seperti sekolah atau universitas. Membuat kursus bahasa asing atau bahkan membuat pasar bagi lembaga pendidikan ala marketplace itu. Cerdas sekali.

Tapi, itu prediksi awal saja. Moga itu yang terjadi. Bisa saja skenarionya berubah. Bisa gawat.

Nah, ketimbang pura-pura nyaman dengan ancaman di atas, mengapa tidak mempersiapkan diri bertindak menghadapinya? Misal, anggap saja edu-tech akan membuat lembaga pendidikan yang kita kelola tutup, dihentikan, atau diturunkan statusnya.

Atau, mungkin saja muncul beragam aturan yang membuat lembaga pendidikan di semua tingkatan "dipaksa" meng-upgrade diri secara cepat. Entah itu peraturan dari pemerintah yang mengharuskan ini itu, atau aturan stakeholder lainnya.

Nah, kalau kondisi ini yang terjadi, secara perlahan, lembaga pendidikan itu akan kehilangan eksistensi dan pengaruh. Nah, kalau ini berlangsung lama, bisa saja ia akan tutup. Masuk akal bukan?

Maka, sebelum kondisi memburuk, persiapkan saja antisipasi.

Lakukan langkah-langkah yang disarankan pakar disrupsi seperti:

1) Shifthing paradigm, merubah paradigma biasa ke paradigma disrupsi. Termasuk merubah pola bisnis. Kalau biasanya dari A-Z, mengapa tidak dari Z-A?

2) Men-delete produk. Nah, ini yang menyakitkan. Pasti tidak tega, bukan?

Namun, kalaupun produk pendidikan itu harus dipertahankan, lakukan upgrade drastis terhadapnya, entah kemasan, cara marketing termasuk fungsinya.

Lakukan analisis mendalam. Termasuk uji persepsi konsumen dulu. Apakah mereka masih butuh produk pendidikan yang kita jual? Kalau butuh, apa yang harus diperbaiki? Kalau tidak, apa gantinya?

Apakah kita telah memenuhi persepsi user? Bagaimana analisis SWOT, dan sebagainya.

3) Efisiensi dan perampingan SDM. Bagian ini juga meyakitkan.

Bagi lembaga pendidikan swasta tentu lebih mudah, mengingat fleksibilitas mereka dalam merekrut atau memberhentikan karyawan lebih longgar.  Agak berbeda dengan institusi pendidikan negeri yang biasanya memiliki  aturan lumayan ketat untuk perampingan SDM atau PNS nya.

4) Sinergi.
Langkah ini dilakukan dengan menjalin kemitraan antar institusi. Saling melengkapi dan menguatkan. Kolaborasi juga bisa dilakukan dengan menyatukan layanan akademis atau pertukaran SDM, why not?

5) Investasi pada SDM. Kalau tak memiliki dana yang besar pada infrastruktur, maka fokuslah pada pengembangan SDM. Syukur-syukur bisa keduanya.

Apapun ceritanya, edu-tech pasti akan terus bermunculan. Hari demi hari. Meski yang bangkrut juga ada. Fenomena ini harus disikapi sebagai tantangan dan pemicu. Bukan ancaman yang harus dibenci dan dihindari.

Do The Best for Our Educational Institution...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun