Mohon tunggu...
R Aulia
R Aulia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menjadi Lentera bukan Angin yang selalu meredupkan upaya penerangan anak-anak bangsa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saya Tidak Percaya Debat Presiden, Anda?

9 Juni 2014   17:42 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:33 2113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1402285281631605172



Debat adalah penyampaian kalimat-kalimat normatif bernada surga. Petang ini, senin (9/6/2014) empat orang terpilih akan saling sahut-menyahut dalam mengungkapkan kalimat normatif tersebut. Berdiri di podium terpisah. Menghadap lawan dan penonton yang siap bersorak-sorai, bila sang calon kurang gesit dalam menyampaikan kata. Juga bila calon terlihat jago mengolah dan memainkan lisannya.

Kalimat normatif adalah kalimat yang hanya bisa didengar semua orang dan hanya dipahami sebagian orang. Sementara rakyat yang jarang bersentuhan dengan kalimat normatif tersebut hanya melongo saja. Sesekali mereka bangga, bila calonnya ekspresif. Mereka hanya sebatas melihat dari gaya dan penampilan. Bukan kalimat yang terlontar.

Orang-orang yang mengaku hebat di seluruh Indonesia berargumen, bahwa isi debat adalah isi kualitas benak para calon itu. Siapa yang bisa berdebat, maka dia diyakini dapat mengurai permasalahan bangsa, dan barang siapa yang canggung dan grogi, maka dia akan kalah, dan diyakini bahwa dia tidak pantas untuk memimpin bangsa yang katanya kaya ini.

Saya menilai berbeda. Pada debat kali ini, saya tidak akan bisa menaruh rasa percaya akan kualitas calon tersebut. Apakah calon benar-benar dapat membuat terobosan agar bahtera Indonesia ini dapat bersahabat dengan deburan ombak yang sadis atau tidak.

Kita kadang tidak sadar menjadi orang yang bodoh. Kenapa, karena ulah pribadi-pribadi yang sedang mencalonkan atau dicalonkan. Otomatis yang terucap dari mulut mereka adalah kalimat normatif bernada surga.

Sederhananya, orang yang ingin terpilih pasti mengobral kata-kata manis, lagi-lagi bernada surga. Orang yang hatinya gampang terpukau, luluh, dan terpesona pasti akan jatuh hati padanya. Itulah kita. Manusia Indonesia.

Jujur, saya pribadi tidak percaya dengan kata-kata manis, apalagi terlontar dari mulut orang yang sedang ‘mohon’ untuk dipilin atau untuk dimenangkan. Itulah mengapa saya tidak bisa menjadikan indikator debat atau kampanye sebagai cara yang mutlak apakah kualitas calon benar-benar baik. Saya tegaskan, tidak.

Saya pernah kecil-kecilan wawancara, menanyakan kepada rekan-rekan saya yang ingin dipilih menjadi pengurus di suatu organisasi. Dengan lancar, panjang, normatif, visi-misi ideal keluar dari mulut mereka.

Saya pun langsung beringsutan dan menatap mata mereka dengan memaksa keraguan hadir. Di ujung kalimat mereka, saya tanya dengan kalimat pemungkas. “emang kamu yakin dengan semua yang diucapkan tadi” rata-rata, suasana menjadi hening. Saya butuh tindakan.

Begitupun saat saya mensosialisasikan diri saat terpilih menjadi salah satu pemimpin. Saya katakan dengan jelas di depan anggota, bahwa saya adalah orang paling bodoh dan paling nakal di antara mereka.

Saya katakan, “bila mereka yakin dan saya benar, tolong diikuti, dan bila saya salah, tinggalkan saya.”

Kata-kata yang refleks keluar dari mulut saya. Bayangkan, di saat kebanyakan calon pemimpin atau pemimpin baru, hanya bisa mengatakan kalimat manis demi pencitraan diri. Saya malah menghancurkan citra diri sendiri. Tidak peduli rusak beneran atau tidak.

Terkait kampanye dan pola debat kepimpinan nasional seharusnya demikian. Memiliki pandangan yang berbeda tentang sebuah pemimpin dan perfomance-nya. Dalam mencari dukungan, ada tiga pola dan cara.

Pertama. Mencari dukungan dengan mengangkat diri sendiri dan menjelekkan calon lain. Seperti halnya terlalu narsis dengan rekam jejak masa lalu, meski terkadang hanya klaim dari kerja kolektif banyak orang. Selain itu ada juga yang menjelekkan calon lain secara bersamaanyang biasa disebut kampanye negatif dan kampanye hitam.

Kedua. Mencari dukungan dengan hanya mengangkat diri sendiri saja tanpa menjelekkan calon lain. Baik menyindir atau mengatakan secara vulgar.

Ketiga. Mencari dukungan dengan menjelekkan diri sendiri. Merusak citra diri sendiri. Namun dengan catatan, harus memiliki keyakinan bahwa citra yang kita rusak, tidak seperti aslinya. Publik yang sudah mengikuti rekam jejak kita pada masa lalu, akan berpikir lebih keras. Berpikir tidak percaya akan ucapan kita.

Menurut saya, pola pertama adalah sangat jelek. Pola terbaik nomor dua. Pola orang yang berani adalah pola ketiga.

Maka dari itu, seharusnya kita sebagai publik Indonesia tidak gampang terkesima dengan ucapan manis sang calon. Yakinkah kita, bahwa segagah apapun ucapan di atas podium, benar-benar mereka ingat, bila mereka terpilih melenggang ke Istana. Kita tidak perlu risau dengan buruknya kualitas mereka bicara, tapi kita harus memerhatikan kualitas action mereka. Baik dikala ingin dipilih atau belum ingin dipilih.

Oleh:

M R Aulia

(TulisanBangunTidur)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun