Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Hakim Bao dan Para Pendekar Penegak Keadilan (Bagian 13)

17 April 2018   08:31 Diperbarui: 17 April 2018   21:47 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ketika Xiang dan Bai sedang berbincang-bincang, datanglah seorang kakek yang berpakaian lusuh dan kurus kering mendekati kakek yang sebelumnya duduk di sisi barat. Kakek yang berpakaian lusuh itu bersujud kepada kakek yang pertama kali datang tersebut dengan mata berlinang air mata dan mulutnya memohon dengan iba. Namun kakek yang duduk itu tampak menolak dengan menggelengkan kepala. Melihat hal ini, Zhan yang duduk di sana merasa tidak tahan. Ketika ia baru saja ingin bertanya, Bai datang dan bertanya kepada kakek itu, "Kenapa anda melakukan hal ini? Ada masalah apakah? Katakanlah padaku."

Melihat penampilan Bai yang menakjubkan dan luar biasa, kakek itu menjawab, "Tuan muda tidak mengetahui keseluruhan kisah ini. Karena hamba berhutang kepada tuan tanah, tuan tanah ingin mengambil putri hamba sebagai pelunasannya. Oleh sebab itu hamba memohon kepada tuan tanah agar tidak melakukannya, tetapi ia menolak. Mohon tuan muda membantu saya menengahi masalah ini." "Kakek berhutang berapa?" tanya Bai sambil menatap kakek tuan tanah yang sedang duduk itu.

Melihat Bai menatapnya dengan wajah marah, sang tuan tanah pun menjawab, "Sebenarnya ia berhutang kepadaku sebanyak lima uang perak, tetapi selama tiga tahun ia belum membayar bunganya sebesar tiga puluh uang perak sehingga totalnya menjadi tiga puluh lima uang perak." Bai dengan mencibir berkata, "Jadi, mulanya ia berhutang lima uang perak dan sekarang setelah tiga tahun bunganya sebesar tiga puluh uang perak? Bunga ini sesungguhnya tidak seberapa." Lalu ia menyuruh pelayannya mengambilkan tiga puluh lima uang perak.

Ia bertanya kepada tuan tanah itu, "Pada waktu itu apakah ada surat perjanjian utangnya?" Mengetahui uangnya akan dikembalikan, sang tuan tanah dengan sangat senang bangkit dari tempat duduknya dan berkata, "Ada." Lalu ia mengeluarkan sepucuk surat dari kantong dadanya dan memberikannya kepada Bai. Setelah melihat surat itu, Bai menyerahkan uang yang dibawakan pelayannya kepada sang tuan tanah. Kemudian ia berkata, "Hari ini di depan semua orang, uang dan surat perjanjiannya telah diserahkan sehingga tidak ada hutang lagi."

Setelah menerima uang itu, tuan tanah tua tersebut dengan tertawa gembira berseru, "Tidak ada hutang lagi! Tidak ada hutang lagi!" Kemudian ia memberikan penghormatan dengan mengangkat tangannya dan segera pergi meninggalkan rumah makan tersebut. Bai menyerahkan surat hutang itu kepada sang kakek lalu berkata, "Dengan bunga setinggi ini, kelak kakek jangan meminjam uang dari orang itu lagi." "Aku tidak akan berani meminjam lagi," kata kakek itu sambil bersujud sampai kepalanya menyentuh tanah. Kemudian Bai kembali ke tempat duduknya dan sang kakek mengucapkan beribu-ribu terima kasih sebelum akhirnya pergi.

Ketika kakek itu melewati meja di mana Zhan sedang duduk, Zhan memanggilnya, "Kakek tidak perlu terburu-buru. Di sini ada arak, minumlah secangkir untuk menenangkan dirimu. Ini tidak akan membuat kakek terlambat." "Aku bahkan tidak mengenal anda, Tuan. Bagaimana aku bisa menerima kebaikan anda?" jawab sang kakek. "Orang yang melunasi hutang kakek tadi, jangan katakan ia tidak menawari kakek secangkir air pun. Jangan anggap aku orang lain, silakan duduk." "Baiklah, aku sangat berhutang budi kepada Tuan." Sang kakek pun duduk di sana.

Zhan memesankan untuk kakek itu satu kendi arak lagi lalu bertanya, "Siapakah nama tuan tanah tua tadi? Di manakah ia tinggal?" "Ia tinggal di desa keluarga Miao dan bernama Miao Xiu. Karena putranya Miao Hengyi bekerja sebagai pegawai pemerintah di kantor gubernur. Ia memanfaatkan jabatan anaknya untuk menipu sesama penduduk desa dengan mengambil keuntungan dari bunga pinjaman yang tinggi. Bukan karena ia telah menipuku sehingga saya mengatakan ucapan yang penuh kebencian tentang dirinya. Jika tidak percaya, Tuan bisa bertanya kepada orang-orang di sini. Tuan akan tahu bahwa perkataanku bukan bualan." Zhan mendengarkan cerita sang kakek dengan seksama. Setelah menghabiskan beberapa cangkir arak, kakek itu pun pergi.

Kemudian Zhan kembali mendengarkan pembicaraan Bai dan Xiang tentang perkembangan terakhirnya. Xiang berkata, "Aku sangat berterima kasih atas kebaikan kakakmu yang telah menyelamatkanku dan memberiku uang agar aku bisa pergi ke ibukota mengadu nasib. Tak disangka dalam perjalanan aku bertemu dengan Bangsawan An Le yang kemudian mempekerjakanku. Sekarang aku ditugaskan secara khusus untuk pergi ke kota Tianchang guna melaksanakan hal yang sangat penting." "Bangsawan An Le yang manakah?" tanya Bai. "Mungkinkah ada dua orang Bangsawan An Le? Ia tak lain adalah putra Guru Besar Pang, Pang Yu," jawab Xiang dengan bangga.

Jika Bai tidak menanyakannya, mungkin tidak akan terjadi apa-apa. Namun setelah mendengarnya Bai menjadi sangat marah. Dengan muka memerah sampai ke telinga, ia sedikit tertawa sambil berseru, "Beraninya engkau bekerja untuk mereka! Baiklah!" Ia segera menyuruh pelayannya membayar tagihan kemudian langsung pergi meninggalkan rumah makan itu.

Zhan yang mendengar pembicaraan mereka berdua akhirnya memahami. "Jadi seperti itu," pikirnya, "Baru saja Xiang Fu mengatakan bahwa ia akan pergi ke kota Tianchang untuk melaksanakan tugas khusus. Aku telah menanyakan dan mengetahui bahwa Tuan Bao baru beberapa hari lagi akan sampai di kota Tianchang. Oleh sebab itu, mengapa aku tidak memanfaatkan waktu ini untuk pergi ke desa keluarga Miao?" Setelah membayar tagihan, ia pun meninggalkan rumah makan itu.

Sesungguhnya Zhan Zhao adalah seorang pendekar yang menegakkan keadilan. Ke mana pun ia pergi ia menganggapnya seperti di rumahnya sendiri. Bukan karena ia memiliki kewajiban untuk membasmi kejahatan, tetapi di mana pun ia menemukan ketidakadilan ia tidak akan membiarkannya begitu saja seakan-akan ini adalah masalah pribadinya sendiri. Oleh sebab itu, ia layak mendapatkan sebutan "pahlawan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun