Mohon tunggu...
Muhammad Quranul Kariem
Muhammad Quranul Kariem Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri

Dosen | Penulis, Pengamat, dan Analis Politik & Pemerintahan | Koordinator Politics and Public Policy Institute | Alumni Program Magister, Jusuf Kalla School of Government

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Setelah Pilkada?

2 Juli 2018   11:43 Diperbarui: 2 Juli 2018   12:06 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : liputanislam

Setelah Pilkada ?

Pemilihan Kepala Daerah serentak disebut dengan pesta demokrasi untuk memilih pemimpin dalam rangka 'menjamin' kesejahteraan masyarakat. Pasca undang -- undang pemilihan kepala daerah disahkan, digelar tiga pemilihan kepala daerah serentak pada tahun 2015, 2017, dan 2018. Tiga kontestasi tersebut membuat tensi politik nasional cenderung merangkak naik, karena pada tahun depan terdapat kontestasi puncak yaitu Pemilu Legislatif dan Presiden/Wakil Presiden.

Penulis akan mencoba mereview dan menganalisis bagaimana 'spektrum' politik Indonesia, dan kaitannya dengan pengentasan persoalan publik. Pertama, konsep bahwa negara membutuhkan kestabilan politik dalam rangka melakukan pembangunan, menjadi indikator yang tidak bisa dikesempingkan, sekalipun atas nama demokrasi. Melihat tensi politik kita yang tidak terkontrol pada era pemerintahan sekarang, sebenarnya berpotensi menjadi boomerang untuk pembangunan yang berprinsip sustainable development.

Tahun 2015 yang seharusnya menjadi tahun konsolidasi politik pasca pemilu 2014, malah menjadi kontestasi peperangan elit politik di daerah, hal itu dilanjutkan pada pemilihan kepala daerah tahun 2017 serta 2018. Tidak ada 'jeda politik' untuk menata demokrasi kita serta menciptakan stabilitas politik dalam rangka pembangunan. Para elit disibukkan oleh 'perang' perebutan kantong -- kantong kekusaan di daerah, yang juga bertujuan untuk mempersiapkan dan mengamankan 'dukungan' dalam rangka mempertahankan kekuasaan di tingkat pusat.

Kita harus bijak menggunakan demokrasi demi tujuan -- tujuan yang positif, bukan malah menjadikannya sebagai 'arena' pertarungan perebutan kekuasaan secara membabi buta. Kedua, adalah bahwa kepala daerah yang terpilih atau mendapatkan suara mayoritas dari rakyat, seyogyanya harus mampu mentransformasikan gagasan tawaran program dan visi misinya ke dalam proses birokrasi pemerintah (perencanaan, program, penganggaran, dan akuntabilitas), sehingga menjadi efektif serta mampu dirasakan langsung oleh masyarakat. 

Kepala daerah terpilih harus bijak, dan kembali 'turun' ke masyarakat dalam rangka memastikan implementasi programnya berjalan dengan baik, bukan hanya menghadiri acara -- acara seremonial belaka. Posisi kepala daerah menjadi sangat strategis, karena sebenarnya asas desentralisasi telah memberikan kewenangan penuh kepada daerah untuk mengembangkan diri sebaik - baiknya. 

Kepala daerah terpilih harus memahami bahwa banyak biaya yang dikeluarkan oleh negara dalam rangka kontestasi demokrasi yang ia ikuti, meskipun para calon juga mengeluarkan banyak dana dalam membiayai demokrasi kita yang sangat mahal ini. 

Seringkali memang, kepala daerah setelah terpilih akhirnya bersikap pragmatis, mencari celah -- celah pembiayaan program yang bisa 'disandera' untuk pengembalian 'modal politik' serta persiapan 'modal politik', belum lagi politik dagang sapi, yang juga merupakan kompensasi politik, menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk memberikan kekuasaan atau 'mempermudah izin' bagi stakeholders pendukungnya,

Rakyat menjadi penunggu setia setelah pemilihan kepala daerah serentak, mereka mempunyai harapan tinggi kepada sang kepala daerah terpilih untuk memperbaiki kondisi hidupnya lewat kebijakan -- kebijakan yang berpihak kepada mereka. Rakyat tidak lagi hanya siap menunggu 100 hari, namun siap menunggu hingga bertahun -- tahun, Rakyat yang membayar pajak, rakyat menggunakan hak pilihnya, rakyat memberikan segalanya kepada penguasa, agar hak -- haknya yang dijamin dalam konstitusi mampu dipenuhi.

Kondisi yang terjadi malah berbanding terbalik dengan harapan rakyat, penguasa politik menggunakan segala kewenangannya untuk mensukseskan agenda yang dibuatnya sendiri. Rakyat yang menjadi klausul yang 'dipinjam' untuk melakukan modus operandi, dalam rangka memenuhi syahwat duniawi. 

Jika kita melihat realitas bahwa anggaran belanja pegawai selalu lebih tinggi rasionya dibanding belanja publik, proses pengadaan barang dan jasa pemerintah yang 'hanya' berorientasi proyek, tidak hanya itu, praktik politik gentong babi (pork barrel politics), dimana pembuatan program pemerintah tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Praktik -- praktik semcam itu jelas merupakan penghianatan terhadap kedaulatan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun