Mohon tunggu...
Azimuddin
Azimuddin Mohon Tunggu... Buruh - Karyawan swasta

Menulis untuk berbagi dan meninggalkan jejak

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dibolak-Balik UU Perlindungan Konsumen

18 Juni 2021   13:28 Diperbarui: 18 Juni 2021   13:46 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat diajar oleh dosen dalam mata kuliah pilihan pada fokus Hukum Ekonomi dan Bisnis,, salah satunya kami membahas tentang Undang -- Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Ajaran yang sama dosen-dosen kami terapkan dalam mempelajari suatu hukum positif (hukum yang berlaku), penekanannya bukan pada penghafalan isi dari UU-nya,

 " Isi suatu peraturan ga perlu dihapal, buat apa? penuh-penuhin otak aja, kalian tinggal baca nih" sambil angkat buku setebal alaihim.  "Hukum itu dinamis maka yang penting dibangun adalah cara berpikirnya." begitu kira-kira doktrin yang kami terima sejak awal.

Jadi, mulailah kami dikenalkan dengan prinsip-prinsip dasar UUPK yang total menjungkir balikan hubungan produsen konsumen setelahnya.

Dalam transaksi perdagangan barang/jasa sebelum berlakunya UUPK, berlaku doktrin caveat emptor, berasal dari Bahasa Yunani yang artinya hati-hati pembeli.  Pada masa itu pembeli dianggap telah mengerti tentang kualitas dan siap menanggung resiko apapun dari barang/jasa  ketika memutuskan membeli. Masih ingat kalimat pada bagian bawah struk pembayaran kasir "Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan dengan alasan apapun"?" Itu salah satu contoh penerapan caveat emptor .

Nah UUPK ini menarik sekali, karena memaksa produsen atau penjual untuk merubah cara mereka memasarkan barang/jasanya. Dari caveat emptor menjadi caveat venditor: hati-hati penjual. Sejak UUPK berlaku penjual harus menerapkan kehati-hatian pada barang/jasa yang dihasilkan, sejak cara pembuatan hingga praktek pemasaran dan after salesnya, semuanya harus berfokus pada kepentingan konsumen. Contoh penerapan caveat terakhir ini menggembirakan sekali, (juga sukses melariskan bisnis baru muka lama, hehehe) mulai dari kewajiban pencantuman label produk dan buku manual berbahasa Indonesia,  Standar Nasional Indonesia, bemacam -macam ISO, CPOB dan COPTB untuk farmasi, termasuk pemberian label halal dan banyak lagi.

Lebih menarik lagi UUPK menerapkan sistem pembuktian yang berbeda dari yang dianut hukum perdata dan pidana, dimana dikeduanya berlaku azas actori incubit, yaitu siapa yang mendalikan dia yang membuktikan. Bila kamu mendalilkan dan menggugat perdata agar seseorang membayar hutangnya, maka sudah kewajiban kamu untuk membuktikan dia telah berhutang dan wajib membayarmu.

UUPK menggunakan sistem pembuktian terbalik, beban pembuktian dialihkan pada tergugat. Jadi ketika menggugat produsen skincare yang mengklaim dalam 1 kali pakai bisa bikin wajah kamu glowing kayak personil Balckpink dan ternyata tidak, malah bikin wajah kamu buram belang-belang. Nah dalam sidang nanti,  alih-alih kamu yang  harus membuktikan kalo produsen bersalah mengeluarkan produk yang berbahaya, justru produsen skincare harus membuktikan bahwa produknya aman,  tidak ada kesalahannya dan dia tak bertanggungjawab atas apa yang terjadi pada wajahmu. 

Tujuan dari ssstem pembuktian ini adalah untuk melindungi konsumen yang biasanya dalam posisi lemah saat berhadapan didepan hukum dengan produsen.

Gimana, aman kan!? Sudah siap borong lagi?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun