Mohon tunggu...
Motulz Anto
Motulz Anto Mohon Tunggu... Freelancer - Creative advisor

Pemerhati Kebijakan | Wacana Sosial | Pengamat dan Penikmat Kreativitas, Pelaku Kreatif | Ekonomi Kreatif | motulz.com | geospotter.org | motulz@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gak Usah Lebay Sama Puasa

13 Juni 2016   15:36 Diperbarui: 13 Juni 2016   19:02 1317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau emang gak sanggup puasa kenapa dipaksakan? Apalagi harus merepotkan orang lain? - Komentar barusan datang dari teman saya yang biasa menjalankan puasa Senin Kamis yang namanya sebaiknya tidak usah ditulis. Khawatir jadi riya. 

Suatu hari saya meeting bersama teman saya, sebut saja si E. Kami bertemu di sebuah kafe mal Jakarta. Saya langsung pesan kopi tapi si E tidak, dia bilang sedang puasa Senin Kamis. Aduh! saya jadi merasa gak enak, namun E malah yang merasa tidak enak karena menurutnya sengaja tidak bilang. Biasanya kalau orang lain tahu E sedang puasa maka E langsung diposisikan sebagai orang yang harus dihargai - dengan kata lain dikasihani. Padahal menurut si E ini, puasa tidak wajib ini sudah lama dan rutin ia lakukan semata-mata karena ia merasakan dampaknya secara berangsur, yaitu mudah mengendalikan emosi saat di kantor dan badan jadi gak gembul.

Cerita lain adalah teman saya dari Bandung -sebutlah si Deden, menyetir mobil sendiri dari Bandung ke Jakarta untuk meeting dengan si A, lalu si B, dan si C. Saya mengajak dia meeting juga, akhirnya ia harus meeting dengan 4 pihak dari pagi hingga sore yang malamnya ia kembali ke Bandung. Saat ketemu Deden pun ternyata ia sedang puasa Senin Kamis. Wajahnya biasa saja tidak terlihat lemas atau lesu atau kehausan. Sambil saya gak enak hati saya pun berusaha membuat dia menjadi  lebih nyaman dengan menawarkan tempat duduk yang lebih enak dan lebih adem karena kena angin semilir-semilir. Teman saya hanya ketawa sambil bilang, "Biasa we atuh lah" (biasa aja dong).

Dari hampir semua teman, rekan, atau ayah saya yang sudah lama rutin menjalankan puasa Senin Kamis, ketika saya tanya bagaimana saya harus bersikap saat menghadapi yang puasa? Jawaban mereka hampir sama saja semua yaitu: biasa-biasa saja. Bagi mereka puasa yang mereka lakukan ini memang lebih kepada urusan pribadi, proses melatih diri, proses belajar mengendalikan badan, akal, dan nafsu. Saya pernah mencoba beberapa kali menjalankan puasa Senin Kamis ini, memang terasa sekali ujiannya karena nyaris semua orang di sekitar kita itu tidak tahu kita sedang puasa (kalau kita tidak kasih tahu) dan mereka menjalankan aktivitas keseharian yang biasa saja. Berbeda dengan kisah teman saya si T, kebetulan di ex kantornya dulu itu banyak teman-teman pria sekantornya yang menjalankan puasa Senin Kamis bersama-sama (janjian). T memanfaatkannya sebagai teman puasa untuk menjaga kebugaran fisiknya. Alhasil satu kantor tidak ada yang men-spesialkan mereka karena sedang puasa, jadi suasana dan aktivitas kantor sama sekali tidak berbeda memperlakukan mereka yang puasa.

Puasa, sebetulnya bukan ibadah 'ekslusif' milik umat Islam, sejak zaman dulu pun sudah banyak agama dan kepercayaan sebelum Islam yang menjalankan ritual berpuasa ini. Tujuannya kurang lebih hampir sama yaitu mengendalikan diri, bedanya dalam Islam ada janji lain yaitu mendapatkan pahala yang berlipat juga menjadikan kita menjadi lebih taat kepada Allah.

Namun berbeda kejadiannya dengan puasa wajib Ramadan. Entah di negara lain, namun di Indonesia ritual puasa sebulan penuh ini dirayakan layaknya merayakan sebuah acara sebulan penuh Piala Dunia. Malam hari tetap ramai, TV dan media massa lainnya ikut heboh dan ramai membicarakannya. Bahkan tidak sedikit kantor-kantor atau tempat aktivitas yang baru aktif agak siang hari, karena mayoritas pegawainya masih tidur akibat begadang nobar semalaman suntuk. Dari pasar sampai mal semua heboh menjual atribut tim kesebelasan idola. Begitu pun pembahasan atas kehebatan tim Belanda, Perancis, dan seterusnya, bisa dibahas penuh perdebatan hingga terjadi keributan. Saya berpikir, puasa Bulan Ramadan itu sesungguhnya adalah perayaan besar bagi mereka yang paham makna puasa seperti yang dijalankan pada puasa Senin Kamis. Bedanya saja puasa wajib Ramadan ini dijalankan oleh hampir banyak masyarakat (walaupun bisa jadi bohong juga) yang akhirnya suasana kemeriahannya ini sangat mendukung aktivitas ritual puasa kita.

Yang sangat disayangkan jika akhirnya, ritual puasa ini oleh beberapa pihak sangat dikultuskan secara berlebihan. Kenapa saya bilang berlebihan? ya karena untuk ritual yang lebih wajib seperti sholat saja tidak pernah harus sampai minta bantuan aparat untuk mengawal prosesi ritual tersebut. Sholat sudah jelas merupakan sebuah ritual dan ibadah yang khas dan khusus dilakukan oleh umat Islam (tidak seperti puasa). Sholat itu hukumnya wajib yang lebih ketat dibanding wajib versi puasa. Jika dalam ayatnya, puasa itu hanya ditujukan kepada mereka yang beriman (lebih dari sekedar muslim). 

Kemudian ada banyak syarat untuk mereka yang bisa dan tidak bisa menjalankan puasa. Sementara sholat rasanya lebih ketat dan lebih wajib, namun tidak perlu kan ada perda yang mengatur saat jam sholat maka tidak boleh berisik, tidak boleh melakukan aktivitas, tidak boleh ada klakson mobil, tidak boleh ada orang berbicara, dan seterusnya kan? Yang mana semua kegiatan dan aktivitas tersebut jelas-jelas mampu mengganggu kekhusuk'an sholat? Selain itu ibadah sholat adalah ibadah yang terlihat, sementara puasa tidak. Dengan kata lain saya lebih mudah berbohong (alasan) saya sedang puasa dibanding saya sudah sholat.

Dengan demikian, saya makin paham bahwa ibadah puasa ini memang sebuah ibadah tantangan. Sanggup atau tidak? Berani terima atau tidak? yang mana dalam tantangan ini ada janji pahala yang besar dari Allah. Puasa bukan ibadah untuk semua orang melainkan untuk beberapa orang yang siap memasuki tantangan kategori 'orang-orang beriman'. Semoga ibadah puasa ini mampu membawa kita menjadi lebih sabar, lebih arif, dan lebih tenang dalam menghadapi aktivitas keseharian yang super kusut. Jangan sampai malah sebaliknya, ibadah puasa Ramadan malah menjadikan kehidupan dan aktivitas keseharian malah jadi kusut dan dibuat ribet. Saling menghargai dan toleransi? Saya pikir itu adalah bonus saja, bukan kewajiban atau hak yang layak dituntut. Karena bagaimana pun ini adalah masalah ibadah pengendalian diri kita sendiri, bukan diri bersama-sama.

Bayangkan nikmatnya kita berpuasa Ramadan di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya adalah muslim, nah coba bayangkan jika suatu saat kelak kita harus menjalankan ibadah puasa Ramadhan di negara yang umat Islamnya tidak mayoritas? Sanggupkah? atau kita masih butuh pihak lain untuk membangunkan tidur saat sahur? Butuh diingatkan dengan alarm saat Imsak? Butuh suara bedug saat buka puasa? Dan masih butuh pengawalan dari aparat untuk menyingkirkan kegiatan keseharian yang mampu mengganggu jalannya puasa kita? Mari kita jawab sendiri-sendiri saja :) Karena puasa adalah ibadah yang sangat personal (privacy).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun