Mohon tunggu...
Motulz Anto
Motulz Anto Mohon Tunggu... Freelancer - Creative advisor

Pemerhati Kebijakan | Wacana Sosial | Pengamat dan Penikmat Kreativitas, Pelaku Kreatif | Ekonomi Kreatif | motulz.com | geospotter.org | motulz@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wayang Kulit: Sindiran Dalang Kepada Pemerintah Dalam Menjaga Warisan Budaya

13 Mei 2014   23:40 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:32 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wayang kulit adalah salah satu budaya Jawa yang sejak zaman Sukarno dikembangkan fungsinya sebagai tontonan hiburan semata. Awalnya pertunjukkan wayang kulit ini sangat kental dengan budaya ritual. Konon sebutan wayang pun diambil dari kata Ma Hyang yang artinya kembali ke ruh atau bayangan. Tidaklah heran jika proses pertunjukkan wayang kulit ini dahulu kala sangatlah merepotkan. Tidak sekedar persiapan semacam pertunjukkan biasa melainkan diikuti dengan prosesi ritual-ritual dan doa agar pertunjukkan ini mendapat kekhusyukan. Hingga hari ini pagelaran wayang kulit versi ritual pun masih dilakukan di banyak tempat di tanah Jawa.

Dalam perjalanannya, pertunjukan wayang kulit juga digunakan oleh para raja atau kepala desa untuk menyampaikan pesan-pesan atau nasehat kepada masyarakat dan warganya. Dalam lakon tertentu, dalang sering menyisipkan nasehat-nasehat bermanfaat, di saat itu pula penonton wayang mendapatkan kisah cerita plus pesan moralnya. Pagelaran wayang kulit sebagai budaya ini memang sering kita jumpai dibanyak tempat. Mulai dari Taman Mini Indonesia Indah, RRI, Gedung Pertunjukkan bahkan hotel-hotel mewah. Akan tetapi menyaksikan sebuah pagelaran wayang kulit semalam suntuk di sebuah desa itu akan memiliki nilai pengalaman tersendiri.

Suatu hari saya diajak rekan saya untuk menonton sebuah pagelaran wayang kulit di kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, dengan lakon "Satria Piningit" oleh dalang Ki Seno Nugraha. Sejak awal pertunjukkan saya memang tidak paham dengan bahasa Jawa, jadi saya hanya menikmati adegan karakter-karakter wayangnya saja. Namun karena saya tertarik mengambil foto-foto, maka saya duduk dekat dengan para pemain gamelan dan pesindennya. Alangkah terkejutnya saya ketika musik gamelan dipukul sangat keras jadi semacam musik pembuka. Alunan suara gamelan, gong, dan lain-lainnya sangat terdengar mistis dan etnis. Belum lagi saat koor pesinden yang makin menghanyutkan saya dalam sebuah suasana tradisional yang epik. Rasanya baru ini kali pertama saya menonton pagelaran wayang kulit live dan berada dekat dengan para pemain gamelan dan pesindennya. Biasanya jauh dan berjarak dengan panggung.

13999615411516938532
13999615411516938532

Dalang - Pak Ki Seno Nugraha pun nampak piawai sekali membawakannya. Sesekali, beliau berkelakar dengan wayang dan pesindennya, akhirnya pembahasan topik Satria Piningit pun jadi tidak terlalu berat. Pak Dalang menceritakan bahwa acara pagelaran wayang kulit yang sarat ritual semacam ini musti sering dilakukan, dijaga, dan dilestarikan. Pak Dalang menyindir bagaimana sikap pemerintah yang sering kebakaran jenggot saat seni budaya kita diaku oleh bangsa lain, tapi jarang melakukan kegiatan pelestarian yang konsisten. Pak Dalang pun tidak kalah sering berterima kasih kepada Pak Isran Noor, sebagai ketua APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia), yang bekerja sama dengan Bupati Kulon Progo yaitu Bapak Hasto Wardoyo. Kedua tokoh ini berinisiatif mengadakan sebuah pertunjukkan wayang kulit dalam konteks menjaga kelestarian budaya ritual. Tidak heran jika pelaksaannya pun bekerjasama dengan sebuah komunitas pelestarian budaya Nusantara yang bernama Kadangkeyan Sabdalangit (KKS).

13999619561694218014
13999619561694218014

Namanya juga perhelatan ritual, suasana di lokasi wayangan ini pun buat saya terasa sekali ritualnya. Malam itu langit cerah sekali, bintang-bintang berhamburan dan bercahaya indah sekali. Saya sempat menjauh dari lokasi wayangan dan mendekat ke pelataran sawah. Menatap langit sambil sesekali terdengar lantunan pesinden dari kejauhan. Sangat mistik namun kental dengan nilai-nilai budaya. Perhelatan seperti ini jelas harus dijaga dan dilestarikan. Bagaimana pun acara sejenis ini adalah aset seni budaya asli Indonesia. Banyak yang tidak terlalu peduli dengan acara seperti ini. Inisiatif Pak Isran Noor ini musti didukung dan terus dilaksanakan. Wajar jika beberapa kali Pak Dalang Ki Seno pun berucap terima kasih kepada Pak Isran, lewat lakon wayangnya, bahkan disentil dengan julukan Satria Piningit Pambukaning Gapura. Apa itu? entahlah, saya kurang paham istilah-istilah Jawa, namun sesaat Pak Dalang menyebutkan julukan tersebut, semua penonton berteriak kegirangan sambil bertepuk tangan. Ternyata acara seperti ini sudah rutin bergantian dilakukan Pak Isran Noor bersama 514 bupati di bawahnya di seluruh Indonesia. Semoga ini pertanda baik dan semoga melancarkan acara-acara perhelatan budaya sejenis di kemudian waktu. Bagaimana pun juga, acara seperti inilah yang terus menghidupkan warisan para leluhur bangsa Indonesia, yang kita kenal dengan budaya Nusantara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun