Mohon tunggu...
Moris Mahri
Moris Mahri Mohon Tunggu... Lainnya - PELAJAR

Bagi saya, membaca adalah berhutang dan saya yakin saja bahwa menulis merupakan cara terbaik untuk membayar hutang itu

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tuhan, Jangan Dengar Doaku

24 Februari 2021   12:52 Diperbarui: 24 Februari 2021   13:03 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Shutterstock

Keseharian: Suatu Pendakian Menggapai Kebahagiaan

Hidup adalah keadaan "sedang dalam perjalanan menuju ke". Menuju ke mana? Kebahagiaan. Keseharian adalah ladangnya. Dalam Keseharian, pengalaman diandaikan. Pengalaman mengungkapkan peziarahan manusia dan peziarahan itu tertuju kepada dan untuk meraih-menggapai Kebahagiaan. Hidup manusia adalah aktivitas menggapai Kebahagiaan. Namun, manusia tak jarang memahami Kebahagiaan secara subyektif dan keliru. Bagi mereka yang demikian, Kebahagiaan direduksi sebagai keberhasilan pribadi dalam meraih cita-cita, meskipun jalan yang ditempuh kerap kurang dipertimbangkan secara kritis. Asal Kebahagiaanku terwujud, tidak peduli dengan Kebahagiaan orang lain. Dari sini, Kebahagiaan tampak begitu subyektif. Aku membunuh dan berhasil, maka aku bahagia; aku melampiaskan dendamku, maka aku lega-puas-bahagia.

Kebahagiaan demikian menciderai hakekat Kebahagiaan yang sesungguhnya. Kebahagiaan sejati ialah Kebahagiaan yang tidak mengorbankan kebahagiaan orang lain. Cetusannya terletak pada perhatian terhadap yang lain, merangkul yang tersisih, memapah yang lumpuh, memeluk yang terpinggirkan, menggandeng yang letih, mengangkat yang terpuruk, dst. Halnya menjadi jelas bahwa Kebahagiaanku pastilah berkaitan dengan Kebahagiaan orang lain. Aku tidak bisa dikatakan bahagia ketika Kebahagiaan orang lain dikorbankan; aku tidak bisa dikatakan bahagia ketika Kebahagiaan orang lain, diciderai, dinodai, diperkosa, disepelekan, dst. Aku terpisah jauh dari Kebahagiaan ketika tindakanku merupakan pemicu mengalirnya air mata pada orang lain. Sebaliknya Aku sungguh berbahagia ketika Kebahagiaanku rela dikorbankan demi Kebahagiaan orang lain; ketika Kebahagiaanku merupa dalam Kebahagiaan orang lain; ketika Kebahagiaanku merupakan panorama dari Kebahagiaan orang lain.

Kebahagiaan itu Gift

Kebahagiaan demikian tidak sepenuhnya terpancar dari kemampuan manusia semata-mata. Ia pastilah sebuah pemberian, sebuah hadiah yang oleh sesama manusia tidak mampu mewujudkannya secara penuh. Kebahagiaan itu sebuah gift dari Tuhan. Karenanya, Kebahagiaan tidak mungkin dicapai tanpa menyadari keterkaitannya dengan Tuhan. Sebab, Kebahagiaan sejati mendapat fondasinya pada intimitas relasi dengan Tuhan. Konsep kebahagiaan selalu punya keterarahan kepada Tuhan. Maka, aktivitas pendakian manusia menggapai Kebahagiaan tiada lain adalah pendakian menuju Tuhan itu sendiri. Kebahagiaan, akhirnya, berarti memeluk Tuhan, berada dalam rangkulan Tuhan. St. Agustinus katakan, "gelisah hatiku sebelum beristirahat pada-Mu, Tuhan". Bagi St. Agustinus, kebahagiaan adalah beristirahat pada Tuhan, tinggal-tenang dalam pelukan Tuhan. Tetapi, apakah itu berarti bahwa perwujudan Kebahagiaan mensyaratkan kematian? Tentu tidak demikian maksudnya. Lalu, maksudnya apa? Mari kita simak!

Kebahagiaan berarti memeluk Tuhan atau berada dalam rangkulan Tuhan masih tinggal sebagai sebuah cita-cita mulia, sebab masih terkurung dalam konsep Kebahagiaan yang vertikal. Ia belum berkarakter horizontal, sebab belum sepenuhnya menyentuh pengalaman sehari-hari. Dalam Keseharian, manusia berkontak dengan beragam macam "fenomen" (gejala-gejala). Manusia menjumpai segala bentuk kebaikan, penghargaan, penghormatan, pujian, dan sejenisnya. Namun, ia tidak dapat pula berpaling dari beragam rupa kejahatan. Kebaikan dan kejahatan menjadi bagai sinar dan panas dari matahari yang senantiasa mengiringi peziarahan hidup manusia dalam lapangan keseharain. Tentang Kebaikan, kiranya tidak ada hal lain yang paling pantas dilakukan selain menjunjungnya. Sementara kejahatan, yang dihasilkannya tiada lain selain deretan kecemasan dan kegelisahan yang menghantui peziarahan hidup manusia. Kejahatan memiliki warnanya tersendiri dalam keseharian. Karena kekhasannya yang senantiasa menghantam dan menciderai kemanusiaan, ia menjadi mudah dikenali. Mudah dikenali berimplikasi pada tercetusnya upaya-upaya pencegahan atau pemulihan.

Tantangan Kebahagiaan

Pada hakekatnya, tidak ada manusia yang mendambakan kejahatan. Sebab kejahatan dari sendirinya melukai Kemanusiaan. Namun, kejahatan kerap mengondisikan manusia pada situasi sulit. Karena tersapa "wajah" kejahatan, manusia tersentuh untuk mendambakan Kebaikan-Keadilan. Namun, tak sedikit orang yang masih menerapkan model keadilan zaman Perjanjian Lama dalam menyikapi sapaan kejahatan: "mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki". Ketika aku dicela, maka aku mencela. Ketika aku dilukai, maka aku pun melukai. Ketika aku dihakimi, maka aku bersiap-siap untuk menghakimi. Dan seterusnya. Namun pembalasan semacam ini hanya terjadi pada orang-orang yang berdaya untuk melakukannya. Pertanyaannya menjadi terarah pada yang lemah, kecil, tanpa daya. Bagaimanakah mereka melakukannya?

Tuhan dalam Persoalan Penderitaan: Seleksi Doa

Kehadiran agama membentangkan di hadapan mereka suatu harapan yang tiada tara. Dalam hal ini, Tuhan menjadi Itu yang kepada-Nya harapan mereka tertuju dan mendapat jaminan. Sehingga, bukan merupakan hal yang aneh jika strategi pembalasan mereka terhadap hantaman kejahatan ialah mengandalakan Tuhan. Dalam agamanya, Tuhan diyakini sebagai pribadi yang terdepan membantu orang-orang kecil, mungkin juga termasuk mengurusi perkara pembalasan kejahatan semacam ini. Maka, berdoa menjadi satu-satunya sandaran untuk tetap survive di hadapan terpaan beragam macam kejahatan. Semisal doa seorang penyair yang sedang dilanda badai penderitaan, "Bangkitlah, TUHAN, tolonglah aku, ya Allahku! Ya, Engkau telah memukul rahang semua musuhku, dan mematahkan gigi orang-orang fasik." Sekilas tampak bahwa doa demikian mengungkapkan perasaan dendam yang hendak mengatakan; jika Kebahagiaanku dihantam, maka terhadap Kebahagiaan "kalian" pun mesti diterapkan perlakuan yang sama.

Namun, sikap demikian menyisakan pertanyaan-pertanyaan penting yang menyentuh apa yang tadi disebut Kebahagiaan. Jika Tuhan mendengarkan doa-doa semacam ini, apakah Dia tidak memperhatikan Kebahagiaan para musuh sang pendoa juga? Apakah setelah dendam sang pendoa terbalaskan, Tuhan kembali mengangkat tangan-Nya? Apakah pembalasan dendam memungkinkan perwujudan Kebahagiaan? Tidakkah Tuhan juga memperhatikan Kebahagiaan para lawan sang pendoa? Jika Tuhan mendengarkan doa untuk intensi balas dendam, itu berarti Ia bukan Tuhan yang maha adil. Sebab Ia memihak. Ia tidak mendamaikan, tapi malah menambah intensitas ketegangan permusuhan. Maka, Ia tentu bukan Tuhan yang baik. Tuhan itu dari sendirinya baik dan Ia-lah Kebaikan itu. Jika demikian, maka yang mendengarkan doa dengan intensi balas dendam, tentu bukan Tuhan. Sebab Tuhan tidak menghendaki permusuhan di antara ciptaan-Nya.

Maka, ketika sedang berada dalam amukan badai kejahatan, tidak salah bersandar pada doa. Namun, doa yang bernafaskan dendam mesti dihindari. Jika hantaman kejahatan terlampau keras menerpa, menggerutu pada Tuhan mungkin bukan sebuah kejahatan, meski di dalamnya masih tercium aroma permohonan balas dendam. Namun, mendoakan keburukan dan celaka bagi orang lain tentu dari sendirinya sebuah kejahatan di mata Tuhan. Namun, ketika terlanjur kebablasan bergerutu, perlu sekali mengakhiri gerutu demikian dengan sebuah kalimat doa, "Tuhan, jangan dengarkan doaku".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun