Mohon tunggu...
Mory Yana Gultom
Mory Yana Gultom Mohon Tunggu... Administrasi - Not an expert

servant

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Yang Belum Terungkapkan

31 Desember 2019   23:31 Diperbarui: 1 Januari 2020   00:14 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

2019.

Tak ada warna-warni. Hitam semata. Atau mata ini ketutupan dengan warna lain yang lebih cerah? Terlalu sibuk menghadapi hitam demi hitam yang seolah tak mau pudar? Entah.

Kita mengawali tahun ini dengan menonton sebuah film drama komedi bertajuk "Orang Kaya Baru." Larut dalam tawa, sesekali berhayal bagaimana jika aku yang tiba-tiba menjadi orang kaya karena mewarisi harta dari orang yang tak terduga umpamanya. Tapi tetap, kesan yang paling kuat di sana adalah soal keterikatan dan keterkaitan keluarga: Bapak yang mengajarkan kesederhanaan, ketekunan dan tanggung jawab. Ibu yang mengajarkan kesetiaan, teruji dalam segala keadaan, miskin sekalipun. Kakak yang mengajarkan perjuangan cinta, dan adik yang mengajarkan pentingnya obrolan dan kebersamaan, meski hanya sejenak di meja makan.

Film yang sangat menghibur, katamu. Iya, kataku. Kubawa pulang satu pelajaran: keluarga adalah satu-satunya tempat pulang yang sempurna, yang akan membuka tangannya memelukmu dalam kondisi apapun. Susah-senang, jatuh-bangun, kaya-kere, necis-kumal.

Itulah terakhir kali aku tertawa lepas di 2019. Setelahnya, tak terhitung berapa kali aku menangis, bahkan hingga jatuh sakit akibat terlalu sering sesenggukan. Setelahnya, wajah tak terhindarkan dari raut murung, mendung di mata pertanda berduka menggelayut sepanjang hari. Setelahnya, tawa hanya sekadar, ikut-ikutan saja daripada dikira tak punya selera humor. Tawa yang hambar. Garing.

Engkau tahu bagaimana aku terseok-seok menjalani hari-hari sepanjang tahun ini. Engkau menyaksikan sehancur apa aku ketika harus menyerahkan diri ke mulut-mulut penuh amarah dan sumpah serapah itu. Engkau melihat terinjaknya harga diriku menerima semburan caci maki dan tagihan pertanggungjawaban atas dosa yang tak kubikin. Pasang badan, taruhan nyawa, demi apa yang dipesankan di film yang kita tonton di awal tahun itu: keluarga. Engkau tahu, setelah itu tak lagi ada yang tersisa untuk diriku sendiri.

Terima kasih.

Engkau menjadi support system di sepanjangnya. Semoga esok masih juga demikian.

Maaf.

Mungkin kau pun lelah mengikuti perjalananku yang tak jua berujung bahagia. Kelam melulu.

Tapi telinga yang kau sediakan mendengar setiap keluh kesahku sungguh berarti. Tisu yang dengan sigap kau sodorkan untuk menghapus air di mataku, tangan di pundak yang kau tepukkan agar tangisku sedikit mereda, itupun telah menopangku. Amarahmu kepada yang telah melukaiku, rasa sebalmu pada orang-orang yang sok mencibirku, itulah yang masih membuatku bisa tersenyum hingga kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun