Mohon tunggu...
Monika Teresa
Monika Teresa Mohon Tunggu... Jurnalis - Siswi SMA Kolese Loyola

Carpe Diem

Selanjutnya

Tutup

Healthy

HIV, Simpanse, dan Nasib Umat Manusia

24 Agustus 2019   22:56 Diperbarui: 24 Agustus 2019   23:00 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Siapa yang tidak pernah mendengar AIDS atau HIV? Virus HIV adalah virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia dengan menginfeksi dan menghancurkan sel CD4+, yaitu jenis sel darah putih yang berperan penting dalam memerangi infeksi. Jika seseorang terinfeksi virus HIV ini dan tidak segera ditangani, orang ini akan menderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) yang sudah menyebabkan jutaan kematian, dan merupakan salah satu penyakit paling menakutkan yang pernah dihadapi oleh manusia. AIDS adalah stadium akhir dari infeksi virus HIV dimana pada tahap ini, tubuh tidak punya kemampuan untuk melawan infeksi sama sekali.

Mengapa penyakit ini sangat menakutkan? HIV merupakan virus retro, atau yang biasa disebut sebagai retrovirus yang dapat menular dari tiga cara; yang pertama adalah penularan seksual (jika tidak menggunakan pelindung), kontaminasi melalui kontak darah (jika tidak menggunakan jarum yang steril), dan penularan perinatal (dari ibu yang hamil kepada janin di dalam rahim). Retrovirus bekerja dengan cara memasukkan tiruan dari dirinya ke dalam DNA sel yang sudah diinfeksi, sehingga virus bisa mereplika virus itu sendiri dan menyebar ke sel-sel lainnya. Berikut ini dimana virus HIV mulai menakutkan. Virus HIV sudah berevolusi berkali-kali dengan berbagai macam cara untuk menembus dan mengalahkan sistem pertahanan tubuh kita. Setelah virus HIV menginfeksi suatu tubuh, virus ini menyerang pertahanan tubuh paling penting tubuh tersebut, yaitu sistem kekebalan tubuh. Ini berarti bahwa tubuh tersebut sudah tidak memiliki pertahanan dan dengan mudah terpapar virus dan bakteri yang terletak di sekitar kita. Dengan sistem kekebalan tubuh yang menurun, ini dapat mengarah kepada sakit parah dan kematian. Bahkan kematiannya orang yang tertular HIV tersebut bisa hanya akibat penyakit yang mudah disembuhkan jika menginfeksi orang yang sehat, seperti contohnya flu umum.  Parahnya lagi, sekali seseorang terinfeksi HIV, orang ini tidak dapat disembuhkan dari infeksi HIVnya, sehingga orang tersebut akan menderita penyakit AIDS untuk seumur hidupnya. Ketika penyakit menular seksual lainnya masih dapat disembuhkan, penyakit yang disebabkan oleh HIV belum ada obatnya. Ini mengapa sangatlah penting untuk melakukan seks aman dengan menggunakan pelindung, menggunakan jarum suntik yang steril, dan bagi ibu hamil yang berisiko menularkan penyakit ini kepada janinnya, dianjurkan untuk mengonsumsi obat ARV (Anti Retrovirus) dan melakukan bedah Caesar.

Nah, mencegah dan menyembuhkan HIV sudah menjadi salah satu cita-cita kesehatan publik tertinggi yang ingin dicapai oleh manusia. Pada sekitar tahun 1800-an, sempat terjadinya wabah HIV yang menyebar dan menginfeksi dunia. Sejak itu, 77 juta orang di dunia memiliki virus mematikan ini, dan 33 juta sudah meninggal akibat virus HIV. Sejak itu, ilmuwan di seluruh dunia telah mecoba selama bertahun-tahun untuk menemukan obat yang dapat dikonsumsi oleh penderita HIV dan vaksin HIV. Namun pada tahun 1800-1900, para peneliti dan dokter masih tidak bisa menemukan obat yang mampu mengobati virus HIV, manusia hanya bisa mengobati infeksi-infeksi yang disebabkan oleh virus tersebut. Salah satu obat pertama yang digunakan untuk mengobati virus HIV adalah Suramin, yaitu obat yang biasa digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit tropikal. Obat ini berhasil mengurangi presentase virus dalam sel yang ditumbuhkan dalam cawan petri dan dalam darah pasien. Namun, dalam kenyataannya obat ini hanya semakin membuat parah keadaan pasien karena obat ini cukup keras. Kemudian pada bulan Maret 1987, Amerika berhasil menemukan obat AIDS pertama dalam sejarah umat manusia, yaitu Azidothynidine. Namun, semua penemuan obat ini selalu gagal, karena kecenderungan HIV yang menakutkan, yaitu untuk selalu bermutasi untuk membuat kekebalan dari obat tersebut.

Setelah itu, para peneliti di dunia menemukan cara untuk melawan HIV yaitu dengan menarget dua bagian sikulus terpenting HIV dengan menggunakan obat-obatan yang berbeda-beda. Hal ini menyusahkan virus HIV untuk bermutasi dan membuat kekebalan untuk obat-obatan tersebut.   Setelah itu, sudah banyak sekali cara pencegahan dan obat yang dapat dikonsumsi untuk pasien-pasien yang telah menderita virus HIV. Pada hari ini, para dokter sudah bisa menggunakan terapi obat yang dinamakan Antriretroval Therapy atau ART untuk para penderita virus HIV. ART tidak hanya mengurangi virus HIV di dalam tubuh penderita, tetapi juga mengurangi risiko penularan virus HIV.

Dengan semua obat-obatan yang kita sudah miliki, HIV yang berawal sebagai hukuman mati bagi penderitanya menjadi sebuah penyakit kronik yang akan dimiliki penderitanya seumur hidupnya. Walaupun para penderita HIV sudah dapat diobati dengan ART, ini tidak berarti virus tersebut hilang secara total dari tubuh penderita. Artinya, masih ada kemungkinan kecil bahwa virus ini mungkin menyebar atau membuat sakit penderita HIV. Para peneliti dan dokter diseluruh dunia masih berlomba-lomba untuk mencari solusi yang mampu menghilangkan semua jejak HIV dari tubuh manusia. Untuk mendukung percobaan-percobaan ini, pastilah dibutuhkan suatu subjek percobaan. Salah satu subjek percobaan virus HIV yang paling sering digunakan adalah simpanse.

Pan troglodytes atau yang sering dijulukki simpanse, adalah mamalia yang memiliki rambut hitam lebat, memiliki muka yang tidak berbulu, memiliki jari tangan dan kaki, serta memiliki telapak tangan dan kaki. Hewan ini adalah kerabat dekat dengan manusia dan berbagi 98% genetik yang sama dengan manusia. Ini adalah salah satu alasan mengapa peneliti menggunakan simpanse sebagai subjek tes HIV. Dilihat dari sisi ilmiah, penggunaan simpanse sangatlah penting untuk penelitian, karena ada beberapa tes yang tidak dapat dilakukan pada hewan pengerat (seperti contohnya tikus), karena jauhnya perbedaan genetiknya dengan manusia. Menggunakan subjek tes lainnya selain primata dapat mengakibatkan perbedaan hasil, baik dalam segi neurologi (sistem syaraf) ataupun psikiatri. Simpanse merupakan satu-satunya primate non manusia yang bisa ditulari penyakit kronik seperti AIDS. Selain itu, penggunaan hewan selain primata hanya akan mempersulit penelitian dalam bidang penularan penyakit karena otak hewan lain seperti kelompok pengerat belum cukup berevolusi untuk menandingi kompleksnya otak manusia.

Bagaimana jika peneliti menggunakan metode in silico/menggunakan komputer atau simulasi? Sayangnya, pada saat ini komputer masih tidak dapat mereplikasi kepintaran atau intelligence suatu makhluk hidup seperti simpanse. Menurut Dr. Caminiti, seorang profesor dalam bidang Psikologi Manusia, komputer dan penghitungan matematika tidak akan bisa menggantikan subjek percobaan hidup karena untuk membuat model komputer yang dapat memprediksi hasil saja dibutuhkan subjek hidup. Jadi pandangan orang untuk menggunakan model dalam komputer dan langsung mengaplikasikannya kepada subjek percobaaan manusia sangatlah tidak mungkin. Penggunaan subjek tes simpanse sudah sangat membantu para ilmuan di sekitar dunia untuk melakukan penelitian terhadap HIV secara lebih mendalam lagi. Itu semua adalah kegunaan penelitian HIV di simpanse yang dilihat dari sisi ilmiahnya, tetapi bagaimana dari sisi hak asasi hewaninya?

Jumlah penggunaan simpanse sebagai bahan percobaan tes pernah meledak pada sekitar tahun1886 atas permintaan dari para peneliti-peneliti yang berlomba-lomba untuk mempelajari wabah penyakit yang baru saja menyebar luas, yaitu AIDS. Namun pada tahun 2007, National Centre for Research Resources atau NCCR mengatur pembatasan untuk menghasilkan subjek tes simpanse. Ini menurunkan jumlah simpanse di lab, dan pada tahun 2006, hanya tersisa 1,133 simpanse dalam lab-lab percobaan di negara Amerika.

Dilihat dari sisi hak asasi hewani simpanse, percobaan dan riset menggunakan simpanse sebagai subjek tes sangatlah tidak etis. Simpanse yang lahir dalam lingkungan yang tidak alami, seperti di dalam lab percobaan cenderung untuk menderita. Atau dalam kasus yang lebih parah, yaitu saat simpanse percobaan diambil langsung dari lingkungan hidupnya yang alami sebagai subjek tes. Ini dapat menyebabkan disrupsi sosial, pemaksaan simpanse untuk melakukan percobaan-percobaan yang tidak mereka sukai, dan juga percobaan-percobaan biomedikal yang berbahaya, seperti pada topik ini yaitu HIV. Penangkapan liar ini sangatlah tidak etis bagi simpanse liar dan juga tidak adil karena ini mengurangi jumlah populasi mereka di alam liar, sampai-sampai simpanse sudah termasuk golongan hewan yang terancam punah atau endangered species. Apakah sudah ada larangan mengenai penggunaan simpanse sebagai subjek tes di dunia? Karena adanya kampanye yang dilakukan oleh Humane Society di Amerika dan 22,000 surat yang dikirimkan kepada NCRR, fokus terhadap perlindungan untuk simpanse dalam percobaan sudah meningkat. Bahkan di beberapa negara di Eropa, melakukan percobaan menggunakan simpanse sudah tidak dibolehkan oleh hokum. Seperti contohnya negara-negara Swedia, Austria, Jerman, Belanda, New Zealand, dan Inggris yang sudah berhenti sepenuhnya dan melakukan pelarangan terhadap penggunaan simpanse dalam percobaan-percobaan.

HIV adalah virus yang menyeramkan dan merupakan salah satu tantangan kesehatan publik terbesar yang pernah dihadapi oleh umat manusia. Seluruh manusia di dunia mempunyai keinginan untuk mengalahkan penyakit AIDS dan bisa memperbaiki kesehatan manusia pada umumnya, baik kesehatan individu ataupun kesehatan masyarakat sebagai keseluruhan. Manusia mungkin sudah memiliki gambaran untuk mengalahkan penyakit kronik ini dalam waktu dekat dengan kemungkinan untuk memusnahkan jejak-jejak HIV dari bumi untuk selamanya. Kita sudah berhasil memotong jumlah korban HIV menjadi setengah, dalam selang waktu dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2019 ini, tanpa melupakan orang-orang yang masih hidup sampai sekarang walaupun mereka membawa atau terinfeksi virus ini karena dibentuknya ART dan ARV. Kemajuan yang sangat besar ini juga dijamin dan dibantu dengan subjek-subjek uji coba penelitian AIDS, yaitu para simpanse sendiri. Di sisi mana pun kamu berdiri, entah mendukung dari sisi ilmiah atau sisi hak hewani simpanse, bisa disimpulkan bahwa simpanse sudah memberikan cukup banyak dampak positif dalam penelitian AIDS kepada umat manusia. Jadi, dimana kah kamu berdiri? Untuk umat manusia ataukah untuk para simpanse?

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun