Mohon tunggu...
Lay Monica Ratna Dewi
Lay Monica Ratna Dewi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Antara Sekolah dan Masa Kanak-Kanak

29 Desember 2012   09:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:51 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mungkin tulisan ini adalah tulisan yang klise. Namun, tulisan ini saya buat hanya untuk mengungkapkan kembali kepada para pembaca situasi pendidikan kita saat ini yang masih melenceng dari hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Sudah saatnya kita memulai reformasi sistem selangkah demi selangkah…
Siang itu keponakanku yang masih kelas 3 SD pulang dengan wajah polos tak bertenaga. Kulitnya oenuh keringat dan seperti biasanya tanpa semangat untuk membicarakan sekolahnya di hari itu. Ia lebih tertarik untuk menyapa kami dengan gembira sampil melepas lelah, berganti baju dan menonton saluran kesukaan di TV kabel yang disewa ibunya sejak beberapa bulan yang lalu.
Ya, itulah keponakanku. Usianya baru 7 tahun tetapi beban yang harus ditanggungnya seakan memberikan tambahan usia bagi dirinya. Bukan berlebihan tetapi siapa yang tidak ngeri melihat bagaimana tubuhnya yang mungil harus memanggul tas sekolah berisi buku-buku yang beratnya dapat mencapai lebih dari 2 kilogram? Setiap hari, dengan 5 mata pelajaran yang ada ia harus membawa minimal 15 buah buku karena buku PR, catatan, harian, serta ulangan harus dipisah. Tuntutan wali kelasnya. Belum lagi suara-suara sumbang yang harus dihadapinya dari orang di sekitarnya yang membandingkan prestasinya dengan prestasi kakaknya yang bisa terus meraih 3 besar di kelas.
Kelas 3 SD semetinya masih menjadi masa anak untuk bertumbuh menjadi seorang pribadi. Masa keemasan semestinya dimanfaatkannya untuk bereksplorasi dan mengenal lingkungannya tetapi yang terjadi, pada kenyataannya ia harus menutup diri dan tidak pernah keluar rumah selama satu minggu hanya untuk mengurusi masalah akademisnya. Jika tidak disuruh belajar, mengerjakan PR, atau mengikuti kursus Bahasa Mandarin maka pekerjaan yang dapat ia lakukan adalah melamun atau menonton TV.
Seingatku pada masa SD ku yang juga tidak begitu menyenangkan, paling tidak aku masih memiliki kesempatan bermain sesekali walaupun aku masih tergolong anak kurang pergaulan karena aku juga lebih banyak berkutat pada masalah akademisku yang pada 3 tahun pertama saat SD tidak terlalu baik.
Kehidupan anak-anak semacam itulah yang selalu membuatku bertanya setiap hari sepanjang masa pendidikanku hingga saat ini: Apa yang dicari dari semua kegiatan itu? Pergi ke sekolah, mendengarkan seorang berbicara di depan kelas, lalu pulang dan harus membuka buku lagi begitu seterusnya, kemudian pada masa tertentu mendapatkan tanda kelulusan. Semua kegiatan itu, yang dilakukan oleh jutaan anak di negeri ini dan seluruh dunia, apakah tujuannya itu?
Sejak kecil yang kuingat hanyalah masa-masa di mana aku harus menghafalkan berbagai isi buku yang tidak lagi kuingat: Nama-nama Nngara dan ibukota negara, nama pahlawan, tanggal–tanggal “penting” (agresi militer, kemerdekaan Indonesia dan negara lain, Perang Dunia, deklarasi, dsb.), Pancasila. Ya, aku cukup mengingatnya dengan baik pada masa itu tetapi tentu saja saat ini aku sudah melupakan sebagian besar.
Keponakanku mendapatkan materi yang tidak jauh berbeda: hafalan, perhitungan. Satu hal yang jelas tidak pernah berubah dalam pola pendidikan yang kuamati adalah tidak adanya pemberian makna secara mendalam mengenai ilmu dan penghargaan terhadap lingkungan sebagai sarana belajar yang terbaik. Bedanya, dengan mata pelajaran yang semakin bertambah, tuntutan dan “harapan dunia” yang ditujukan padanya menjadi semakin tinggi.

Kesalahan Paradigma
Kita memang mendapatkan ilmu dari buku-buku. Namun tentunya buku tidak akan disusun tanpa adanya orang yang menemukan berbagai teori dan dasar pembelajaran tanpa melalui proses ilmiah: pengamatan masalah, studi pendahuluan terhadap fenomena, kemudian observasi dalam kerangka penelitian untuk memecahkan masalah yang ada.
Tentunya kalangan mahasiswa juga masih ingat misalnya, mengenai surat keputusan Dikti yang mewajibkan publikasi artikel ilmiah sebagai syarat kelulusan. Tujuannya baik, yakni untuk mendorong budaya menulis di kalangan sivitas akademika. Hal yang disayangkan adalah, keputusan tersebut tidak dibarengi dengan integrasi yang konkret dengan elemen-elemen pendidikan dasar.
Peserta didik selalu dibebani dengan berbagai target dan suatu tuntutan: jika ingin lalus harus melakukan ini dan itu (misalnya seperti syarat kelulusan tadi: dengan publikasi tulisan pada jurnal ilmiah) tetapi esensi pendidikan untuk membentuk minat terhadap penelitian dan ilmu pengetahuan, teknologi, serta perkembangan zaman justru tidak segetol perkenalan anak muda dengan gadget seperti Blackberry atau iPad yang menjadi tentengan kebanggan masyarakat kita yang merasa sudah bertambah modern ini.
Begitu pula dengan wacana pendidikan karakter yang beberapa tahun belakangan mulai mendapatkan perhatian. Wacana itu tentunya perlu diwujudkan dengan perubahan dalam pola dan kurikulum pendidikan, serta intergrasi berbagai elemen dalam pendidikan. Tidak hanya institusi formal, tetapi juga secara komprehensif melibatkan keluarga dan masyarakat.
Celakanya, masyarakat kita sudah terlanjur dicekoki dengan pendidikan ala kolonial. Semua hal yang berkaitan dengan pendidikan selalu dikaitkan dengan sekolah atau institusi formal lainnya. Masyarakat kita cenderung terbiasa dengan paradigma bahwa “pendidikan adalah sekolah”.
Belum lagi dengan tuntutan banyak orang tua terhadap anaknya untuk mencapai ranking yang tinggi: minimal 3 besar. Bahkan ada yang menekan anaknya untuk terus menjadi ranking 1. Apa lagi yang akan dicari dalam hidupnya jika selama itu mereka terus dituntut untuk menjadi “si anak pintar”?
Paradigma yang sempit itu akhirnya membawa masyarakat kita pada suatu era stagnasi yang berkepanjangan. Wawasan terhadap berbagai ilmu pengetahuan hanya digunakan untuk mengejar suatu tujuan pasti dan berlaku umum bagi masyarakat: “lulus (kalau bisa dengan nilai yang baik—ini adalah salah satu tuntutan yang tidak pernah hilang, bekerja, mencari nafkah). Berapa banyak orang yang berpikir: pendidikan adalah suatu proses untuk membentuk seorang manusia seutuhnya agar kelak memiliki suatu dorongan yang kuat untuk melakukan yang terbaik dalam bidang serta karya yang ditekuni, apapun itu demi masyarakat dan kemuliaan sang Pencipta?
Semangat untuk hidup dan berjuang yang semestinya ditanamkan sejak dini begitu saja diabaikan karena banyak orang yang mencari berbagai cara untuk mendapatkan ranking atau predikat Cum Laude. Amati saja, berapa banyak kasus kematian atau bunuh diri saat menjelang atau setelah Ujian Nasional berlangsung? Seberapa besar populasi siswa dan siswi yang mencontek untuk mendapatkan nilai kelulusan atau bahkan nilai yang bagus tanpa semangat untuk berusaha sesuai dengan kemampuannya?
Begitu banyak beban dan tuntutan, begitu tinggi ekspektasi yang diberikan pada seorang peserta didik. Kita selalu dijejali dengan berbagai tuntutan itu dan tanpa kita sadari kita menjadi “seorang pecandu” yang kehilangan jati dirinya.

Sistem Harus Diperbaiki
Seperti halnya tidak ada orang yang memilih untuk lahir dalam kemiskinan dan kemalangan, tidak ada orang yang dapat memilih untuk dilahirkan dengan kemampuan intelektual dalam taraf tertentu. Semua kadar di dunia ini telah ditentukan oleh sang Pencipta dan tidak ada produk yang gagal, semua baik adanya.
Tidak ada siswa atau siswi yang berharap menjadi juru kunci di kelas atau di sekolah, tetapi kenyataannya akan selalu ada yang lebih kurang daripada yang lain. Tetapi bukan berarti semua anak harus menjadi “bintang mas”. Tidak ada yang salah dengan perbedaan kemampuan yang ada dalam diri para peserta didik. Satu-satunya yang perlu disoroti adalah sistem pendidikan kita yang membuat segalanya menjadi kabur. Lagipula, siapa yang dapat membayangkan jika semua orang di dunia ini harus menjadi seperti Einstein?
Negara dengan sistem pendidikan terbaik sepetrti Finlandia, misalnya menerapkan suatu pola tanpa hirarki dalam proses pendidikannya. Tidak ada ranking atau murid juru kunci, semua peserta didik sesuai dengan kemampuan dasar yang dimilikinya sejak lahir mendapatkan perhatian yang merata. Jika ada peserta didik yang kurang memahami dan “ketinggalan” di kelasnya, akan ada guru pembimbing khusus yang siap membantu masalahnya. Profesi guru adalah profesi kehormatan di sana. Ditambah lagi, para peserta didik dengan leluasa dapat memilih bidang keahlian yang disukainya tanpa harus mendapatkan cap “kurang bergengsi” terhadap bidang yang diminatinya (bandingkan dengan pengkotak-kotakan jurusan IPA dan IPS sewaktu SMA di sini).
Pergantian regulasi seiring pergantian menteri pendidikan belum sama sekalil menyoroti masalah ini secara fundamental. Pembentukan karakter peserta didik masih kurang terperhatikan dan pola pendidikan setiap tahunnya tetap sama. Belum ada tindak lanjut untuk melakukan perubahan kurikulum dan usaha untuk mengintegrasikan elemen pendidikan seperti keluarga dan masyarakat dengan komponen pendidikan formal juga belum berjalan dengan baik. Fokusnya masih tetap saja sama seputar pendidikan kita: Ujian Nasional, Olimpiade Sains, infrastruktur, dan masalah lain yang masih menyelimuti dunia pendidikan kita.
Tidak sepenuhnya salah mengurusi masalah-masalah tersebut namun janganlah kita menjadi kabur terhadap masalah lain yang fundamental dalam jangka panjang: kelanjutan pembentukan karakter generasi penerus bangsa ini. Pendidikan adalah suatu sektor kunci, suatu senjata yang ampuh dalam membangun masyarakat seperti halnya yang dikatakan oleh Nelson Mandela.
Jika tidak ada usaha untuk memperbaiki sistem pendidikan, maka kita tidak dpat berharap terhadap perbaikan moral dan mental bangsa di masa yang akan datang. Kita sibuk dengan masalah Sumber Daya Alam dan fisik tetapi kita seringkali lupa bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) adalah sumber daya yang tidak akan pernah terkikis, maka harus diasah dan dibangun. Hal inilah yang menjadi kunci kemajuan negara seperti Singapura, Cina, dan Amerika Serikat.
Reformasi pendidikan yang dilakukan oleh Deng Xiao Ping sejak 1963 telah membawa perubahan fundamental bagi kehidupan masyarakatnya. Kebudayaan, kebanggaan, mental, dan moral untuk membangun terus dibentuk seiring dengan kemajuan ekonomi Cina yang semakin pesat.
Tidak diragukan lagi, usaha untuk membangun sektor pendidikan secara fundamental akan membawa hasil yang membahagiakan dalam jangka panjang. Membangun pendidikan dengan penanaman karakter yang luhur adalah sebuah investasi yang tidak ternilai. Bukankah salah satu cita-cita nasional kita adalah membangun kesejahteraan lahir dan batin?
Kendati demikian, di atas semua itu pendidikan tidak lain memiliki suatu tujuan yang luhur dan terutama: untuk membangun manusia menjadi lebih manusiawi dan membangun pribadi manusia yang seutuhnya. Pendidikan adalah sarana untuk membentuk pribadi-pribadi yang tangguh dalam berjuang dan teguh dalam pendirian untuk berkarya bagi sesamanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun