Mohon tunggu...
Sri Mulyono
Sri Mulyono Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Pegiat Pendidikan

Seorang yang mempunyai kepeduliandalan dalam dunia pendidikan. Setelah bekerja selama 5 tahuan di Sampoerna Foundation, bersama teman2 mendirikan Sinambung Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meng-Indonesia: Mencintai Indonesia tanpa Nyinyir dan Hoax!

8 September 2017   09:12 Diperbarui: 8 September 2017   14:04 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini bangsa Indonesia berada di masa transisi. Sebuah masa dimana warga negara Indonesia sedang mengalami proses pendewasaan. Proses ini nampak dalam pergumulan kita sehari hari. Kita juga bisa melihat dan mendengarkan dari informasi dan berita yang ada di media cetak ataupun elektronik. Kita bisa menemukan berbagai diskusi, perbedaan pendapat/opini. Bahkan ada beberapa yang sengaja mengkritik secara kurang bijaksana. Mereka cenderung menyerang dan ingin menjatuhkan pihak yang tidak sejalan. Lebih pas nya saling menyerang. Yang merasa baik dan benar menyerang yang dianggap salah (yang merasa baik dan benar juga).

Berbagai perdebatan soal berbangsa dan bernegara, beragama, kemanusiaan, korupsi, bahkan soal baik buruk, benar salah, etis tidak etis, toleran dan intoleran telah menjadikan masyarakat Indonesia tidak satu kata. Munculah istilah yang saat ini banyak beredar: Nyinyir. Telah terjadi saling nyinyir di media sosial.  Apakah nyinyir itu?  Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) web.id, nyinyir/nyi*nyir/: mengulang-ulang perintah atau permintaan; nyenyeh; cerewet: nenekku kadang-kadang --, bosan aku mendengarkannya. (https://kbbi.web.id/nyinyir). Sementara KBBI online: nyinyir: 1. Suka mengkritik orang lain terus menerus secara pedas, 2. Banyak bacot, ngomel, bawel, cerewet, gosip sana sini (http://www.kbbionline.com/arti/gaul/nyinyir).

Fenomena saling nyinyir ini cukup memprihatinkan. Lebih memprihatinkan lagi fenomena hoax yang terus beredar. Setiap saat generasi muda kita disuguhi beredarnya informasi dan berita yang kurang bisa dipertanggungjawabkan, tidak ada nilai kebenaran, bahkan tidak jelas sumbernya dan cenderung menyesatkan. Begitu banyak "sampah" kita terima setiap waktu. Hal ini diperparah dengan kebiasaan kita yang dengan mudah repost dan menyebarkan "sampah-sampah" ke grup manapun di media sosial. Kita belum terbiasa membaca secara kritis setiap informasi atau berita yang kita terima. Bahkan kita sudah berani mengambil keputusan berdasarkan informasi dan berita hoax tersebut.

Mengapa saat ini terjadi saling nyinyir di media sosial? Mengapa informasi dan berita hoax begitu mudah tersebar dan menjadi viral? Mungkinkah ini pertanda lemahnya literasi di Negara kita? Pada hari ini, 8 September dunia internasional merayakan Hari Literasi International. Dewan Perpustakaan Jakarta mengajak (banyak beredar di WAG) adanya kolaborasi antar pihak dan keterlibatan para pemangku kepentingan untuk tidak hanya mengawal, tetapi terlibat dan turun langsung bekerja bersama-sama bahu-membahu menjadi organ gerakan di literasi kita.

Apakah bangsa Indonesia menjadi lebih baik atau sebaliknya? Semua kembali kepada niat dan tindakan kita. Seandainya setiap dari kita mengedepankan pemikiran positif dan tercipta kolaborasi, sinergi, kerjamasama di antara kita niscaya masa depan bangsa menjadi lebih baik. Berhenti nyinyir. Berhenti menyebar hoax. Kita hidupi semangat mencintai Indonesia dengan segala ragam agama, budaya, suku, bahas, golongan, ras, warna kulit yang ada. Kita MENGINDONESIA bersama-sama.

MengINDONESIA berarti mengakui dan mencintai perbedaan. Kenyataan bahwa di Indonesia terdapat berbagai suku, agama, ras, bahasa, ideologi menjadi tantangan bagi kita untuk menjalin persatuan dan kesatuan. Sungguh sangat tepat bahwa kita mempunyai semboyan "Bhineka Tunggal Ika". Perbedaan hendaknya tidak menjadi dasar dan alasan untuk saling menyalahkan dan merasa paling benar, tetapi justru menjadi kesempatan untuk berdialog sehingga bisa saling mengisi, melengkapi.

Bukan hanya itu, perbedaan juga menjadi sarana untuk saling "mendidik" dan mengembangkan diri. MengINDONESIA dalam lingkup kecil terjadi dalam keluarga. Hubungan suami istri merupakan contoh bgm mengINDONESIA yang baik. Suami istri tentu saling mencintai. Mereka ingin saling membahagiakan. Perwujudan cinta mereka ada saat mereka mau dan mampu menerima perbedaan di antara mereka. Di sinilah letak seni mencintai. Di dalam perbedaan kita "mendidik dan dididik". Selamat berbeda!

(Foto : by Agas-PSF SDO)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun