Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Financial

Biaya Pendidikan di Masa Pandemi, Jadi Gimana Ya?

21 Januari 2021   18:01 Diperbarui: 21 Januari 2021   18:10 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di media sosial tetangga, ada seorang pejabat perguruan tinggi, memberikan argumentasi akademisnya, terkait biaya kuliah tunggal (BKT), atau disebut juga Uang Kuliah Tunggal (UKT). Untuk level lembaga pendidikan dasar dan menengah, istilah ini memang belum dikenal, tetapi komponen biaya pendidikannya sudah tentu, mudah ditebak, dan kita semua tahu, ada yang disebut SPP dan DSP.

Keberanian membuka argumentasi mengenai UKT/BKT di media sosial, merupakan satu point tertentu, dalam membuka transparasi atau logika kebijakan sebuah perguruan tinggi. Menurut pengakuannya, dan fenomena yang ada, memang ada yang menggunakan sistem UKT/BKT flat, artinya dari awal sampai selesai, berapa tahun pun selesainya,  nominal UKT/BKT itu tetap. Ada pula, yang menggunakan pola menurun, semakin lama, akan semakin kecilUKT/BKT-nya, seiring dengan jumlah mata kuliah yang harus diselesaikannya. Sementara, hal yang ketiga, adalah campuran antara kedua hal tersebut tadi.

Bagi kita yang pernah bersentuhan dengan lembaga keuangan perbankan, istilah-istilah itu mungkin tidak asing. Cicilan flat dan menurun, adalah istilah yang biasa digunakan perbankan, dalam menjaga nasabah, tetapi tetap layanan dan produknya bisa menguntungkan lembaganya. Oleh karena itu, dibuatnya skenario pembayaran tunggapan, direkayasa sedemikian rupa, sehingga terasa ringan dan meringankan, namun tetap, pihak perbangkan mendapatkan keuntungan. 

Apakah, lembaga pendidikan di kita pun, memiliki aura ke arah sana ? entahlah..., kita tidak menganalisis aspek itu !

Tetapi, untuk menjadi bahan pertimbangan, biaya pendidikan di masa pandemi seperti sekarang ini, benar-benar menjadi sesuatu yang harus dibicarakan serius. Untuk level pendidikan dasar dan menengah, sejumlah lembaga pendidikan ada yang sudah merasakan membengkaknya beban operasional (biaya personal), sementara pemasukan semakin menurun yang disebabkan menurunnya daya beli masyarakat. Bahkan, seperti sejumlah perusahaan, sejumlah lembaga pendidikan ada yang sudah merumahkan tenaga honorernya, akibat menurunnya pemasukan dari orangtua, untuk biaya operasional dan biaya personal.

Bantuan kuota, sebagaimana yang sering didengar selama ini, baik dari  provider (kelihatannya lebih bersifat sesaat) maupun Pemerintah, belum mampu menyelamatkan biaya operasional dan personal layanan pendidikan. Tetapi, bukankah, layanan pendidikan bersifat daring ? Iya, sih, daring dalam proses layanan pendidikan, perawatan dan biaya personal, tetaplah tidak bisa "didaringkan" ! biaya mereka itu, tidak bisa digunakan dengan 'uang virtual' ?!

Wacana ini, lebih dimaksudkan untuk membincangkan biaya pendidikan di perguruan tinggi, baik yang disebut UKT/BKT.  Kita mudah paham, kalau antar perguruan tinggi, ada perbedaan kebijakan mengenai UKT /BKT ini. Tetapi, mungkinkah, kita meminjam logika lain, yang bisa diterapkan dalam dunia pendidikan kita saat ini, atau ke depan ?

Salah satu diantara model yang bisa diterapkan itu, andai UKT/BKT itu memang harus ada, menggunakan pola pendekatan rasional- ekonomis dan humanis. 

Pendekatannya, disebut rasional, karena sudah menggunakan perhitungan total biaya pendidikan. Misalnya, biaya pendidikan standar itu adalah diselesaikan dengan waktu 4 tahun adalah sekian rupiah. Jika dibagi empat tahun, jatuhnya adalah sekian rupiah. Andai ada mahasiswa yang bisa menyelesaikan kurang dari 4 tahun, adalah rezekinya, tetapi jika dia menyelesaikan kuliah 5 tahun, maka itu adalah keuntungan bagi lembaga pendidikan. Disebut keuntungan, karena beban kuliah sudah sedikit (misalnya hanya skripsi saja), tetapi UKT/BKT-nya tetap flate. 

Kemudian disebut humanis, yakni jika lebih dari 5 tahun, maka biaya pendidikannya di nol rupiahkan. Mengapa ? anggap saja, sebagai  bagian dari CSR (corporate social responsibility) perguruan tinggi kepada mahasiswa.  Cara ini, lebih humanis. Alih-alih bisa seperti Finlandia bisa menggeratiskan sampai sarjana, cara serupa ini, bisa menolong mahasiswa yang mengalami kesulitan biaya di jeda tahun tertentu, yang kemudian terpaksa harus menyelesaikan kuliah lebih dari 4 tahun.

"mahasiswa kan sudah dewasa, harus tahu resiko, dan manajemen waktu, buat apa kuliah lama-lama?" mungkin itu salah satu tanggapan baliknya. Iya, sih, tetapi, terlambatnya penyelesaian kuliah itu, tidak sekedar urusan waktu, tetapi cukup banyak faktor yang bisa menyebabkan seseorang mengalami masalah dengan penyelesaian pendidikannya.

Mungkin masih jauh, kalau kita berharap, pendidikan di kita gratis sampai perguruan tinggi.....???!

Nah, bagaiman pembaca meresponnya ? 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun