Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antrian yang Tak Membosankan!

25 November 2020   06:00 Diperbarui: 25 November 2020   06:09 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukan untuk yang pertama kalinya. Antri sudah pernah dijalani berulang kali. Bukan hanya di rumah, tetapi juga di ruang public. Antri, pernah juga teralamai dan terjalani. Tetapi, mengapa, masih juga ada perasaan kesal, saat kita menjalani antrian.

Mengapa ?

Sebuah pertanyaan sederhana, namun menyasar pada pikiran, perasaan dan nurani yang kini dirasakan. terbayang sudah, saat menjalani antrian. Antrian panjang, yang dilakukan selama hampir tiga kali, dalam tiga hari terakhir.

Jumat kemarin antri. Antri disatu tempat.  Berangkat agak siang dengan maksud, supaya rileks, santai saja, dan tak usah terburu-buru, atau diburu-buru. Sampai ke lokasi pun, cukup siang. Tidak sepagi, yang orang lain sarankan dan juga lakukan.

"oow...." pekikku dalam hati. Tampak disana, antrian sudah meleak-leok cukup panjang. Kalau diukur oleh jengkalan tangan, mungkin masih bisa bisa dilakukan, hanya dua kali ukuran jengkalan tangan. Pendek dalam jengkalan tangan, tetapi amat sangat panjang, dari antrian nama yang sudah tercatat dalam buku pendaftaran saat itu, di situ.

"nomor serratus lima puluh delapan.." ucap seorang petugas, lambang kesehatan dibahu kirinya. Selidik punya selidik, dia itulah petugas kesehatan yang melakukan pengecekan kesehatan kepada mereka yang bermaksud untuk membuat SIM dipagi hari itu. "tunggu saja dulu, ya Pak, kita belum mulai..".

Keringat dingin, memaksakan diri keluar dari dahiku. Sudah berada di urutuan itu, kemudian disuruh duduk sekedar menunggu dimulainya kegiatan. Sementara waktu itu, antrian pendaftaran pun, masih tertus berdatangan. "mau sampai berapa antrian kegiatan ini..?"

"Silahkan yang mau daftar, formulis SIM masih ada kok. Karena untuk hari ini, diperkirakan sampai 250 orang saja..." ujar sang petugas kepada semua yang hadir saat itu.

Waktu terus bergerak. Dengan gerakan yang merayap, seperti biasa yang dijalani sang Waktu selama ini. Bisa dibayangkan, dalam satu group, hanya 15 orang yang dipanggil. 

Kemudian, untuk setiap orangnya, mendapatkan waktu pengecekan kesehatan, kurang lebih 1 -- 1,5 menit. Artinya, untuk sekedar satu kelompok peserta antrian saja, mampu menghabiskan waktu kurang lebih 20-25 menit, bergantung situasi dan kasusnya.

"bila demikian adanya, kapan giliranku akan tiba ?" pikirku saat itu. Sambil menghitung-hitung nomor antrian, terhitung sudah, sekitar ada 10 kali antrian, kali 20 menitan. Karena itu, tidak kurang dari 3, 5 jam, saya harus berdiri dalam barisan antrian, untuk sekedar mendapat pengecekan kesehatan dalam rangka pembuatan SIM di layanan SIM Keliling saat itu.

Tiga jam setengah. Berdiri. Menunggu antrian. Bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Khususnya bagi diri ini, saat ini, di sini, dan saat itu. Sangat-sangat tidak menyenangkan. Namun, bagaimana lagi, semua ini, harus dihadapi dan dijalani.

Saat itu, aku sudah bersandar ke satu tiang gedung. Karena, pegal, kemudian pindah ke tiang yang lainnya. Karena pegal juga, kemudian beralih ke ruang dalam, kelalang keliling sambil berusaha menghapus kejenuhan dan kepenatan.

Dalam situsi serupa itu, tak disengaja, mataku tertuju pada sejumlah orang ada di depan mata. Terlihat, tampak mereka asik, hampir tak tampak kegelisahan yang saya rasakan saat itu. Mereka bercengkrama dengan teman sebangkunya, sambil menunggu panggilan dari petugas untuk giliran dirinya.

Iri rasanya. Mengapa mereka begitu nyaman, duduk, antri, dan bercengkrama di lokasi antrian, untuk waktu yang tidak sebentar. Iri rasanya, mengapa mereka dapat melakukan semua itu, sementara, kegelisahan dan kepenatan begitu terasa dalam diri ini.

"waduh, kalau kita diam saja, tidak ada kegiatan, bosan dong..?" ujar salah seorang  diantara mereka, dan obrolan itu nyaring terdengar di telinga. Kemudian, rekan cengkramanya memberikan persetujuan terhadap pandangan orang yang ada di sekitarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun