Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Demo Omnibus Law Settingan, Proyeksi, atau Refleksi?

13 Oktober 2020   17:39 Diperbarui: 13 Oktober 2020   17:49 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau kita membincangkan masalah demo, yang baru saja terjadi, khususnya terkait dengan demo penolakan UU Omninbus Law, muncul pro dan kontra. Bukan saja, di level elit, tetapi juga terjadi di lapisan wong alit. Masyarakat bawah.

Bila tidak hati-hati, perbedaan pandangan itu, bisa memancing konflik horisontal di masyarakat. satu kelompok mendukung A, dan kelompok yang lain mendukung B. Tidak jauh bedanya, dengan drama yang dipertontonkan anggota dewan atau para pakar di media elektronik, yang kerap bersitegang dalam menyampaikan gagasannya.

Tidak jauh dari kejadian di layar monitor. Berdekat yang diimbungi dengan ketegangan emosi. Kerap terjadi.

Apa pasal, yang bisa memancing emosi tersebut ? salah satu masalah pokok yang dibicarakannya adalah persepsi mengenai gerakan demonstran yang hampir terjadi di seluruh Pulau. Saya sebut, hampir di seluruh Pulau Besar, atau setidaknya yakni di Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Papua  dan Pulau Sulawesi.

Di antara pulau-pulau itu, diberitakan ada yang melakukan unjuk rasa penolakan terhadap produk Pemerintah-DPR yang satu ini. Selain di kepulauan tersebut, ada pula yang memberitakan terjadi penolakan di sejumlah daerah lain, di Indonesia.

Sekali lagi, tetapi, ada juga yang berpendapat, berita dan pemberitaan itu, hanyalah hoax. Demo yang terjadi, hanyalah bentuk setingan dari beberapa kelompok elit partai, untuk mensuasanakan dinamisnya pengambilan keputusan yang satu ini. Gambar dan berita tentang demo-demo itu, hanya bersifat Hoax.

Di luar pro kontra pandangan itu, "logika yang biasa digunakan oleh aparat keamanan" atau penguasa, adalah mencari 'aktor intelektual' atau fasilitator  demonstrasi tersebut. Tidak tanggung-tanggung, elit politik partai tertentu kemudian dicurigai sebagai penyokong dana, kegiatan demonstrasi tersebut.

Sikap yang terakhir ini, pada dasarnya adalah hal biasa. Maknanya, penguasa kerap kali dalam merespon demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat itu, adalah (1) bertujuan meredam situasi, (2) mencari tokoh utama untuk diajak dialog, atau (3) cara memberikan gambaran kepada masyarakat terkait dampak dari demonstrasi tersebut, sehingga pada akhirnya diharapkan gerakan politik praktis itu bisa berhenti.

Saya termasuk orang yang agak miris. Kalau, dikit-dikit aktor intelektual ditangkap. pada satu waktu, orang vokal dan kritis akan habis oleh pendekatan refresif seperti ini. 

Dari pojok diskusi muncul sebuah pertanyaan berat, yang sulit dijawab, kalau kita latah dengan pencarian aktor intelektual, dan atau mencari kambing hitam, apakah pola ini sebuah refleksi terhadap situasi atau proyeksi sikap politik dirinya ?

Artinya, pengalamannya memang begitu, maka kalau ada orang yang melakukan begitu, maka dia berkeyakinan seperti yang biasa dilakukannya di masa lalu.  Proyeksi adalah satu mekanism pertahanan diri, dengan melemparkan masalah kepada orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun