Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teologi Hampa Instrumen

25 Juni 2018   15:14 Diperbarui: 25 Juni 2018   15:24 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: munplanet.com)

Masyarakat televisi atau penonton TV mungkin masih ingat terhadap satu iklan yang mempertunjukkan tindakan seorang guru ketika memberikan tes lisan kepada anak didiknya di dalam kelas. Hemat kata, alkisah seorang guru tengah bertanya kepada anak didik yang ada di ruang kelasnya, "Kenapa Patimura tertangkap?"  kemudian di jawab oleh seorang siswa, "takdir, pak".

Dari sudut pandang kasat mata, penonton hanya melihat kasus  mengenai hilangnya suara ketika berbicara. Dengan demikian, produk komersial sebagaimana diiklankan TV swasta tersebut diharapkan dapat dijadikan pilihan untuk menyelesaikan masalah kesegaran tenggorokan atau volume suara. Inilah pesan pragmatis dari iklan mengenai permen atau makanan tambahan (suplemen).

Namun dibalik kasus tersebut tersirat satu "drama teologi" yang sangat mendasar dan perlu mendapat perhatian dari kalangan pendidikan, khusus ahli agama. Karena sesungguhnya, apa yang dituturkan siswa tersebut merupakan satu bentuk ekspresi mental dan kognisi dirinya  mengenai realitas. Bahkan bisa jadi,  reaksi sosial tersebut terbawa dalam kehidupan nyata di masyarakat.

Lebih luas lagi, pertanyaan guru tersebut dapat dikemas dalam bentuk dan jenis pertanyaan lain yang serupa dan potensial di respon dengan jawaban yang serupa, misalnya, "kenapa di Indonesia sering terjadi gempa, kenapa Aceh dihempas tsunami, kenapa pangandaran diterjang tsunami, dan kenapa Kota Bandung diliputi lautan sampah".  Jangan-jangan siswa yang ada di kelas elektronik (atau dapat disebut sebagai kelas maya) tersebut akan mengeluarkan jawaban yang sama, yaitu "takdir".

Kendati dalam suasana lelucon, kejadian serupa sempat dialami dalam ruang kelas. Dalam konteks pengalaman pribadi, sempat diajukan pertanyaan terkait dengan penyebab terjadinya gempa di daerah Jogya dan Pangandaran ? tanpa diduga, anak-anak yang ada di ruang kelas menjawabnya dengan kalimat yang sangat sederhana, yaitu "takdir".

Tanpa merasa terburu-buru, dengan merujuk pengalaman serta refleksi diri terhadap fenomena yang ada saat ini, hipotesis terhadap wacana yang ada dalam iklan tersebut yaitu tidak hanya sebuah iklan komersial bagi sebuah produk, melainkan mengandung gaya bahasa sindiran yang sangat kuat dan strategis terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia saat ini. Dalam istilah kita,  iklan tersebut merupakan salah satu contoh drama teologis mengenai perilaku keberagamaan masyarakat Indonesia.

Dalam perspektif Weber, jawaban si Anak dalam drama teologi tersebut dapat disebut tindakan rasional orientasi nilai (Johnson, 1986:221, Giddens, 1986:187). Termasuk dalam hal ini, yaitu perilaku budaya dalam menghadapi bencana dan perilaku agama masyarakat Indonesia yang melakukan istighosah (doa bersama) untuk menghindari bencana alam di Indonesia.  Seiring dengan pandangan Weber, tindakan tersebut  disebut sebagai tindakan rasional berorientasi nilai.

Bagi  masyarakat Agama, jawaban "takdir" merupakan puncak dari kesadaran dan ketaatan diri pada disiplin hidup yang mengakui adanya hukum Tuhan. Berdoa atau melakukan ritual keagamaan dengan tujuan menghindarkan diri dari bencana atau musibah pun merupakan bentuk kesadaran dan ketaatan diri. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa perilaku seperti ini merupakan bagian dari bentuk rasional berorientasi nilai.

Namun demikian, sikap seperti ini tidak cukup dan tidak optimal dalam menjawab permasalahan yang sedang terjadi saat ini. Artinya, perlu ada upaya transformasi penalaran dari orientasi nilai ke tindakan rasional instrumental. Berbagai hal terjadi saat ini, baik dalam bentuk krisis moral, krisis finansial, wabah penyakit, banjir dan lain sebagainya adalah fenomena alam yang harus direspon secara proporsional dan menyeluruh.  Ekspresi teologis diharap seiring senada dengan reaksi teknologis.

Bila dikaitkan dengan perilaku agama dan perilaku budaya, serta drama teologi dalam kelas vistual tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia ternyata masih miskin dalam mengembangkan tindakan rasional intrumental. Sehingga makna sabar, soleh, doa, dan takdir lebih banyak ditunjukkan dalam bentuk tindakan orientasi nilai dibandingkan instrumen dalam memecahkan masalah hidup.

Dalam menutup wacana ini, penulis tertarik pada paparan yang dikemukakan Rosaline Glickman (2002) dalam bukunya Optimal Thinking  : How To Be Your Best Self  yang membedakan antara  positive thinking dan optimal thinking.  Menurut Glickman, orang yang senantisa berharap akan terjadi sesuatu hal yang positif, tanpa melakukan usaha maksimal merupakan bentuk dari pola pikir positif thinking.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun