Sebelumnya tidak pernah 'ngeuh' (nyadar) mengenai apa yang dilakukan Rocky Gerung. Gagasan dan pikirannya, kendati sering terdengar dalam ragam forum dan media, hari-hari lalu, masih dianggap tidak terlalu istimewa.
Terunggah perasaan yang aneh, saat banyak bermunculan medsos yang merasa gelisah dengan ungkapan Rocky Gerung. Ungkapan, pernyatan atau statemen dari dosen filsafat UI ini, mulai banyak dibicarakan, baik itu aktivis medsos maupun kelompok sosial lainnya.
Bagi kita yang terbiasa dengan keademan, dan kenyamanan nalar, sudah tentu, pikiran dan pandangan Rocky Gerung sebagai sesuatu yang menggelisahkan. Dengan kritis dan tajam, filosof Indonesia ini, mengkritik sistem pilkada, Â UU MD3, Â sikap dan kelakuan presiden atau politisi, dan juga pemahaman umum masyarakat mengenai agama dan keagamaan.
Saya melihatnya, bahwa pemikiran Rocky Gerung termasuk pada pola pikir kritis, atau dalam bahasa lain, radikal, yaitu mengoreksi pemahaman umum kita saat ini. Misalnya, penyadaran ulang mengenai arti fiksi dan fiktif. Pemahamannya rasional dan merujuk pada makna dasar (radikal), tetapi pernyataannya menyebabkan beberapa kelompok merasa resah dan gerah, dengan kata lain, merasa terteror oleh pemikirannya.
Panasnya demokrasi saat ini, pun, dikritisinya sebagai sesuatu yang janggal. "demokrasi kita ada infeksi" ungkap Rocky Gerung (http://pepnews.com/2018/01/10/). Bukti faktualnya, dikit-dikit panas, dikit-dikit panas. Panasnya tubuh demokrasi di Indonesia, menggambarkan budaya politiknya kita kena infeksi.
Kemudian, dalam pemikiran mengenai kedaulatan negara pun, Rocky dengan tegas, "apakah Tuhan berdaulat di NKRI ? " jawabannya, "tidak, karena kita memilih kedaulatan rakyat". Logika lurus dan realistis, sesuai dengan fakta-fakta legal yang berlaku di Indonesia (https://www.viva.co.id/berita/nasional/984908). Pernyataan lain yang memanaskan nalar umat beragama, yakni memosisikan Kitab Suci sebagai sesuatu yang fiksi.
Sekali lagi, jika pandangan ini dikontekskan dalam konstelasi pemikiran, kita dapat menyebut, itulah yang disebut pikiran radikal. Pikiran yang mendasar, dan imbasnya, jika pikiran-pikiran dasar ini dipahami di luar konteks, banyak pihak yang terasa diteror! Nalar nyaman, dengan pola pikir yang tradisional, akan menjadi korban dari kritikan dan analisanya. Tidak jarang, kelompok itulah, baik itu politisi, pakar hukum, akademisi, ataupun elit agama, akan merasa diteror oleh pernyataan kritis dari orang yang satu ini.
Kendati demikian, kita sadari, tidak banyak ilmuwan, yang memiliki kemampuan dalam meneror nalar kita dan kesadaran kita, seperti orang yang satu ini !