Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar Logika dari Puisi Ibu Indonesia Sukmawati

3 April 2018   09:12 Diperbarui: 3 April 2018   09:23 945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Minggu ini, kelihatannya akan banyak diramaikan dengan membciarakan Puisi Ibu Indonesia karya Sukmawati.  Untuk sekedar urun rembug dalam mewacanakan masalah ini, kita dapat sedikit merenungkan mengenai beberapa hal berikut, dari sebuah logika yang tertuturkan

Sukmawati mengatakan, apa yang disampaikannya adalah pendapat pribadi sebagai budayawan. Menurut Sukmawati, tidak ada isu SARA sama sekali dalam puisi yang dibawakannya.

"Saya nggak ada SARA-nya. Di dalam saya mengarang puisi. Saya sebagai budayawati berperan bukan hanya sebagai Sukmawati saja, namun saya menyelami, menghayati, khususnya ibu-ibu di beberapa daerah. Ada yang banyak tidak mengerti syariat Islam seperti di Indonesia timur di Bali dan daerah lain," kata Sukmawati (https://news.detik.com/berita/3950035/)

Kita tidak akan mengulas isi. Tetapi, kita lebih mengacu pada permainan bahasa dalam teks yang dipublikasikan oleh media, dengan merujuk kepada si penutur.

Berdasarkan teks yang kita dapatkan, setidaknya ada beberapa pertanyaan yang bisa diajukan di sini.

Pertama, saat Sukmawati mengatakan "apa yang disampaikannya dalah pendapat pribadi..". Dengan kata lain, apakah nilai sebuah pendapat, akan memiliki implikasi yang berbeda, antara pendapat pribadi dengan non-pribadi ?  dengan kata lain, seluruh makna termasuk didalamnya adalah permainan kata atau diksi dalam puisi itu, adalah pendapat pribadi dan bukan pendapat non-pribadi (baca : bisa organisasi atau golongan).

Secara politis, kita memang bisa melihat ada perbedaan makna, antara pendapat pribadi dengan pendapat kelompok atau lembaga. Jika seorang wakil rakyat beropini atasnama pribadi, akan dinilai berbeda dengan opini atas nama lembaganya. Itu adalah efek politis dari sebuah wacana.

Kedua, Sukmawati mengatakan, "tidak ada isu SARA sama sekali dalam puisi yang dibawakannya.".  pernyataan ini,  mengandung makna yang sumir.  Terhadap pernyataan itu, kita bisa mengajukan pertanyaan, apakah memang jika disampaikan atas  nama "bukan pribadi", apakah pernyataan itu akan berubah menjadi SARA ?

Ketiga, ada pernyataan unik yang juga dikemukakan oleh Sukmawati. Dalam penggalan argumentasinya, dia mengatakan "Saya nggak ada SARA-nya. Di dalam saya mengarang puisi. Saya sebagai budayawati berperan.." Apakah dengan demikian, ada imunitas untuk menembus dinding SARA bagi seorang budayawan ? apakah SARA hanya terlarang bagi politisi dan penganut Agama, sementara bagi budayawan ada imunitas untuk mengungkapkan pikirannya?

Keempat, Jika menelaah paragraf ""Saya nggak ada SARA-nya. Di dalam saya mengarang puisi. Saya sebagai budayawati berperan bukan hanya sebagai Sukmawati saja, namun saya menyelami, menghayati, khususnya ibu-ibu di beberapa daerah. Ada yang banyak tidak mengerti syariat Islam seperti di Indonesia timur di Bali dan daerah lain ", kita melihatnya bahwa Sukmawati sendiri kelihatannya sadar diri, (1) ada kelompok masyarakat yang tidak paham syariat Islam, (2) tidak mengherankan bila kemudian terujarkan konde dan kidung lebih indah dari cadar dan azan. Hanya saja,  pembaca, seperti kita, tidak menemukan indikasi siapakah yang mengatakan "kidung dan konde" lebih indah dari "cadar dan azan", apakah Sukmawati sebagai penyusun puisi atau kelompok masyarakat yang dia cermati dan angkat dalam puisi itu.

Sekali lagi. Kita tidak membicarakan masalah isi puisi. Wacana yang kita ajukan di sini, adalah belajar bernalar sebagaimana yang tertulis dari tuturan seorang Sukmawati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun