Mohon tunggu...
Firsty Ukhti Molyndi
Firsty Ukhti Molyndi Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger

Seorang blogger tuna daksa dari Palembang. Memiliki minat tulis-menulis sejak kecil. Menulis berbagai problematika sehari-hari dan menyebarkan kepedulian terhadap kaum disabilitas. Blog: www.molzania.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Disabilitas Bicara Pernikahan, Why Not?

30 November 2021   20:44 Diperbarui: 4 Desember 2021   15:24 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Tribunnewsmaker.com

Mungkin karena kebanyakan nonton drama Korea, jadi kepikiran nulis beginian. Emang efeknya gak bagus sih, bikin baper dan akhirnya jadi suka ngayal yang nggak-nggak. Dipikir-pikir emang salah ya kalau disabilitas kepingin nikah? Bukannya hal itu manusiawi juga? Tapi sepertinya stigma membuat disabilitas tidak boleh bicara tentang cinta. Apalagi pernikahan yang notabenenya lebih kompleks lagi. 

Saya ingat dulu saat masih remaja. Pernah beberapa kali naksir seseorang. Tapi orang yang saya taksir, malah memusuhi saya hingga sekarang. Seolah-olah saya parasit yang harus dijauhi. Beberapa dengan halus mencoba menolak saya. Perasaan tak dihargai itu membuat saya jadi rendah diri. Sedikit membuat trauma. Saya pun mencoba untuk mengubur semua perasaan suka saya kepada setiap lelaki. Berpikir bahwa tak ada satupun lelaki yang menaruh hati pada diri saya. 

Tapi yang namanya hati, nggak jarang perasaan suka itu muncul lagi. Selama ini saya hanya bisa mengagumi seseorang dalam diam. Untuk kemudian coba saya lupakan. Saya tak pernah menghendaki keadaan menjadi disabilitas. Saya juga ingin menjadi cewek yang cantik dan non disabilitas seperti di luar sana. Tapi saya harus menjalani ini semua, dan mencoba berdamai dengan keadaan. Hidup dengan stigma bahwa disabilitas itu merepotkan dan tidak bisa apa-apa sangatlah sulit.   

Rasanya bahagia saat membaca pengalaman teman disabilitas lain yang sukses menemukan jodohnya. Saya juga ingin seperti mereka. BIsa hidup bersama dengan orang yang menyayangi saya dengan tulus. Ada kalanya saya juga melihat bahwa perasaan rendah diri sering menghantui. Bagaimana bisa mengurusi orang lain? Sementara saya sendiri juga tidak mandiri. Mungkin hal ini pula yang ada di sebagian besar pikiran orang dengan disabilitas.

Kami disabilitas perempuan sepertinya akan berjuang lebih keras. Hidup di Indonesia dengan pemahaman bahwa wanita punya usia yang terbatas untuk menikah bukanlah hal mudah. Seiring bertambahnya usia, saya kerap dihantui oleh perasaan cemas. Tidak hanya perlakuan diskriminatif, tapi juga stigma wanita harus menikah pada usia muda. Tujuannya agar bisa memiliki anak dan kesehatan reproduksinya lebih baik.

Belum lagi memikrkan anggapan keluarga besar pasangan terhadap disabilitas. Tak jarang keluarga ada yang tak menyetujui pernikahan dengan salah satu atau kedua pasangan yang disabilitas. Mereka melupakan arti sesungguhnya pernikahan yaitu saling melengkapi. Bahwa setiap individu memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. 

Akibat dari berbagai stigma tersebut, saya mengalami kesulitan saat berteman dengan pria. Memilih untuk tidak terlibat lebih jauh. Memilih untuk tidak usah menggunakan hati. Toh memang saya merasa tidak satupun pria yang mau mendekati saya. Kalaupun ada ya sekadar say hello semata. Saya pun sepertinya sudah hilang kepekaan. Lebih baik melanjutkan hidup dengan tak usah membicarakan pernikahan. Agar tak timbul perselisihan di kemudian hari.

Ternyata saya tidak sendirian. Ketika saya mencari sesuatu di Google dengan kata kunci, "pernikahan disabilitas", sepertinya tak ada yang mau mengulasnya lebih jauh. Bahkan sekedar mensurvey data berapa banyak orang disabilitas yang menikah di Indonesia. Berbeda dengan di Amerika, data sensus penduduk di sana menunjukkan bahwa ada lebih dari 593.000 orang dengan disabilitas yang melangsungkan pernikahan selama tahun 2009-2018. Meskipun demikian, perceraian di kalangan orang dengan disabilitas justru bertambah dua kali lipat.

Hal tersebut bila dibandingkan dengan data orang non disabilitas, jumlahnya kalah jauh. Terdapat 5,1 juta pernikahan dimana hanya sepertiganya mengalami perceraian pada rentang waktu yang sama. Lantas, bagaimana dengan di Indonesia? Tentunya saya berharap bahwa data sensus di Amerika itu tak lantas membuat disabilitas enggan untuk menikah. Malah sebaliknya membuat disabilitas dan pasangannya makin menghargai makna pernikahan. 

Sumber artikel :

ozy.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun