Aku  bukan sampah yang kamu campakan begitu saja meski aku seorang pemulung bermulung terhina tapi tak sehina asah mengasah dalam jiwamu
Aku memang pemulung bermulung dikala sulit memaksa jiwa meski hina tapi bukan maling merambah milik orang seperti lidahmu menusuk jiwa yang tak lelah.  Demi sepeser sehari dan sepiring cukup untuk sehari  bernapas.
Jangan kau campakan aku dengan lidah tak bertulang dikala memulung bekas usang terbuang tak terpakai. Jika kau tinggalkan aku hanya karena seorang pemulung berjiwa kurus kala panas mengikis raga. Aku pun relakan kau pergi asalkan buah hatiku jangan kau campakan juga.
Biar pemulung memulung usang mengais rejeki dikala umur termakan usia ditelan bumi tapi jangan mencibir mulut akan kehinaanku saat pergi.  Jangan kau ukir kenangan  dulu lagi biar terbakar bersama sampah buanganmu. Pergi jauh jangan kembali bila sampah telah tiada tertelan bumi sebab aku tak sudi melihatmu pada gubukku.
 Jiwaku menahan siksa awal pergi tapi kuat dikala sendiri menyepi pada gubuk derita menahan siksa. Biar jiwaku malu dikata tetangga tapi kokoh memikul beban kepergianmu. Bukan salahku tapi kamu malu dikala berdampingan seorang pemulung bermulung rejeki  memburu sehari sepeser itulah niat  jiwa dikala aku letih lesuh
Aku pun rela asalkan jangan kesal dikala relung rapuh dalam tiada. Aku pun sendiri kamu pun sendiri meniti pada jurang pemisah membelah jiwa.
Fatuknutuk, 30 April 2019
Yakobus M. Dini