Mohon tunggu...
MOCH. RIZAL KARYADI
MOCH. RIZAL KARYADI Mohon Tunggu... Relawan - Sedang mencari keadilan

Sedang berusaha menjadi yang terbaik bagi orang tua

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menelisik Biang Gaduh di Bondowoso

13 Juni 2020   15:40 Diperbarui: 13 Juni 2020   20:47 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemenangan pasangan SABAR tentu  juga tidak luput dari  kerja keras para relawan dan dukungan konkrit massa akar rumput yang relatif lebih mudah dimobilisir karena faktor calon Bupati kharismatik yang sekaligus juga ulama kenamaan di Bondowoso. Perpaduan dua kekuatan nasionalis- tradisional  tak bisa dibendung dan unggul signifikan. Inilah yang tersisa dari Pemilukada 2018 silam.

Namun euphoria kemenangan pemerintahan baru tak berlangsung lama. Hiruk pikuk politik kemudian mendominasi keseharian jalannya pemerintahan. Si pembuat  kegaduhan jelas dialamatkan kepada Sekretaris Daerah pilihan Bupati terpilih. Apa pasal????

Terasa mudah menjawab pertanyaan di atas.  Sekda Syaifullah adalah hasil ihtiar panjang sang Bupati yang paling tidak diharapkan oleh sebagian besar birokrat penikmat fasilitas empuk yang selama ini mereka nikmati. Terpilihnya Sekda Syaifullah juga dirasakan sebagai pukulan telak bagi para politisi yang selama ini  bebas intervensi dan  mengatur roda birokrasi. Sekda baru dianggap ancaman serius bagi keberlangsungan agenda konspiratif.

Maka setting awal pemilihan sekretaris daerah yang di luar dugaan membuat kekuatan besar baik pendukung maupun pihak lawan politik merasa terdapat persamaan kepentingan? Bukankan dalam dunia politik tak ada kawan atau lawan  sejati. Yang ada adalah kepentingan.

Kini, demi memperjuangkan Misi Bondowoso "MELESAT",  Sekda harus berjibaku dan berjuang sendiri di tengah kepungan kekuatan politik plus unsur birokrasi yang tak bisa move on dan terlibat dalam konspirasi dukung mendukung dalam proses rekrutmen sekda. Maka akibatnya bisa dirasakan. Serangkaian badai mulai dari interpelasi, pansus dan aneka sorotan terus terjadi berulang. Bahkan terhadap persoalan yang sebenarnya hanya bersifat administratif. Persoalan kecil dibuat menjadi besar. Reproduksi kegaduhan sengaja digaungkan. Berkolaborasi dengan kekuatan media lokal persoalan kecil dan tak prinsipil terus di festivalisasi seolah sesuatu yang serius dan mambahayakan masyarakat luas.

Sang rival terus memainkan peran bahkan dengan memanfaatkan jaringan di provinsi dan pusat. Terbukti bahwa aliran informasi negatif masih terus berlangsung melalui pejabat di provinsi dan pusat. Sedang informasi positif yang sudah dikerjakan oleh pemerintah kabupaten tak satupun mencuat. Alhasil penggiringan opini publik tampak menuai hasil. Sementara target tercapai, seolah pemerintah gagal pasca pecah kongsi, seolah sekda tak punya kemampuan manajerial, seolah birokrasi nyaris lumpuh dan gagal. Stigma pemerintah acak adut, sengaja membuat kegaduhan,  lemah dan banyak stigma negatif lainnya tersemat kokoh dalam atmosfir masyarakat Bondowoso.

Nah menjawab pertanyaan pada judul di atas, saya akan memberikan sedikit kronologi peristiwa dan berbagai hal yang melatarbelakanginya.

Pertama, tentu masyarakat Bondowoso ingat. Pada awal pemerintahan berjalan semua berjalan normal. Wakil bupati tampil begitu dominan dengan berbagai  ide brillain nan cemerlang. Sedangkan Bupati tetap tampil bersahaja sebagai pejabat publik yang kenyang pengalaman dengan tetap konsisten menjaga perannya sebagai kyai kharismatik yang sering memberikan pencerahan pada masyarakat.

Perpaduan bupati yang penyabar dan wakil bupati yang cerdas dan penuh dengan energi melambungkan harapan masyarakat dan diyakini akan benar-benar membawa Bondowoso "Melesat".

Kedua, Setelah kurang lebih delapan bulan, pasca seleksi terbuka sekretaris daerah bupati dengan ihtiar panjangnya menetapkan Syaifullah yang nota bene adalah putra daerah namun berasal  kabupaten tetangga. Keputusan bupati tersebut kemudian menimbulkan resistensi baik dari kalangan birokrasi maupun dari kalangan elit politik.

Mengapa resistensi begitu tinggi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun