Mohon tunggu...
Mohammad Sidik Nugraha
Mohammad Sidik Nugraha Mohon Tunggu... Editor - Textpreneur

Lahir dan besar di Bandung. Pernah rutin mengunjungi Perpustakaan Daerah Jawa Barat, bahkan sebelum jam buka dan pegawainya datang, karena ketagihan baca komik "Dragon Ball". Sejak 2007, berkecimpung di bidang penerbitan buku sebagai editor, proofreader, penerjemah, dan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bandung Kota Perdamaian

23 April 2015   10:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:46 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_412072" align="aligncenter" width="420" caption="http://commons.wikimedia.org"][/caption]

Saat Jakarta dilanda kerusuhan pada tahun 1998, anak-anak muda Bandung memunculkan singkatan ABCD (Anak Bandung Cinta Damai). Ketika itu, mahasiswa di Bandung berunjuk rasa, tetapi tidak sampai menimbulkan kekacauan besar di dalam kota. Panasnya angin politik yang berembus dari Jakarta seolah-olah diredam oleh hawa Kota Kembang yang masih menyisakan sedikit kesejukan karena dikelilingi gunung.

Peringatan Konferensi Asia Afrika ke-60 tahun ini menguatkan kembali kesan Bandung sebagai kota yang identik dengan kata damai. Pada tahun 1955, udara Bandung tentu lebih sejuk dibandingkan sekarang. Dalam lingkungan seperti itu, pikiran para pemimpin Asia dan Afrika menjadi semakin jernih sehingga mampu melahirkan sepuluh butir pernyataan yang luhur. Bayangkan, saat negara-negara kuat dan serakah masih memikirkan “Negara mana lagi yang mau kita jajah?”, di Bandung berkumandang pesan damai untuk menghormati kedaulatan negara. Sepertinya tidak berlebihan jika Bandung disejajarkan dengan Jenewa, Swiss, yang terlebih dulu mendapat citra sebagai kota perdamaian karena adanya Konvensi Jenewa.

Di Bandung memang pernah terjadi peristiwa Bandung Lautan Api pada tahun 1946. Namun, itu sama sekali tidak menandakan bahwa penduduk Bandung bersifat keras hati atau pemarah. Peristiwa itu justru menunjukkan uniknya sikap warga Bandung (setidaknya saat itu) jika harus melawan. Mereka menghindari konfrontasi yang mungkin bisa disalahartikan sebagai sikap pengecut, tetapi juga sebagai tanda kebesaran hati.

[caption id="attachment_412076" align="aligncenter" width="376" caption="logo 6o tahun KAA"]

14297608091696738591
14297608091696738591
[/caption]

Pada dasarnya, sebagai bagian dari masyarakat Sunda, warga Bandung menjunjung tata krama “someah ka semah” atau “ramah kepada tamu”. Sikap itu pula yang membuat Wali Kota Ridwan Kamil mempercantik pusat kota Bandung yang akan menjadi tempat dilaksanakannya puncak acara Peringatan Konferensi Asia Afrika Ke-60. Karena harus ramah kepada tamu, sebagian warga Bandung yang diwakili oleh para pelajar rela berpanas-panasan memeriahkan kegiatan para tamu negara yang menapak tilas (historical walk) dari Savoy Homann ke Gedung Mereka. Semoga kemeriahan ini turut memperluas daya jangkau pesan damai—terutama ke wilayah-wilayah yang sedang dilanda konflik—dari Bandung, Kota Perdamaian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun