Keberhasilan yang didapat Anggit dengan kerja kerasnya itu pasti sangat membanggakan. Terutama bagi kedua orang tuanya. Tapi tidak untuk mereka yang selalu meremehkannya di saat terpuruk.
Seperti biasa, Anggit dari pagi hingga malam melahap semua buku yang dia gunakan untuk persiapan mengikuti tes. Di tahun ini, dia tidak mau gagal lagi, dia ingin berhasil. Dua kegagalan sebelumnya, dia jadikan guru untuk menjadi lebih baik.
Kegagalan yang dia rasakan, memberikan goresan kesedihan yang mendalam di hatinya. Kepercayaan dirinya turun karena kegagalan demi kegagalan yang dia dapatkan. Namun, cita-cita besar yang ada pada dirinya berhasil mengalahkan itu semua.
Sebetulnya, Anggit tak seorang diri. Iqbal, laki-laki yang dia temui tahun lalu saat tes juga sama dengan dirinya. Sama-sama pernah gagal tes.
Anggit beruntung, dia punya orang tua yang selalu mendukungnya, serta kakak yang bisa dia manfaatkan untuk bertanya hal yang dia tidak ketahui.
Pada pagi hari di kamarnya, dia meratapi kegagalan yang selalu menghampirinya. Dia berpikir, mengapa semua ini terjadi pada dirinya, mengapa selalu dia yang mendapatkan kesialan.Â
Omongan orang lain pada dirinya yang mengatakan jika dia tidak ikut tes pun dia pasti gagal membuat sedih dan dendam ada pada dirinya.
Dia merasa tercabik-cabik oleh omongan orang lain pada dirinya. Membuat dunia seperti tidak memihak kepadanya. Hatinya remuk, kepercayaan dirinya runtuh, tubuhnya seperti kaca yang dilempar dari atas begitu jatuh langsung hancur berkeping-keping.
Di tengah meratapi kesedihan, dia teringat oleh nasihat gurunya yang memintanya untuk terus belajar, belajar, dan belajar. Karena tidak ada cara lain selain belajar. Anggit mengingat-ingat betul nasihat gurunya itu.
"Anggit, ayo makan dulu." Ucap ibunya yang tiba-tiba membuka pintu kamarnya.