Mohon tunggu...
Mohd. Yunus
Mohd. Yunus Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peminat kajian ekologi, politik, dan sejarah

Silahkan kunjungi https://mohdyunus.id

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Mereka yang di bawah bayang-bayang pembangunan berkelanjutan

10 November 2017   14:24 Diperbarui: 13 November 2017   08:47 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://www.un.org

Dalam liputan berita sore itu terlihat sebuah speedboat meluncur pelan dengan sesekali membunyikan sirene, di depannya melaju sebuah perahu nelayan yang ditumpangi oleh reporter TV. Tidak lama kemudian perahu nelayan tersebut berhenti, begitupun dengan speedboat. Terlihat para penumpang kedua perahu tersebut saling berbicara dengan nada tinggi. Rupanya penumpang yang ada di speedboat itu adalah petugas keamanan dari salah satu pulau reklamasi di Teluk Jakarta. Para petugas itu mempertanyakan kedatangan perahu nelayan dan si reporter tersebut. Pesan yang ingin disampaikan liputan tersebut adalah kentalnya kesan eksklusif proses pembangunan pulau reklamasi di Teluk Jakarta, sehingga banyak para nelayan yang terhalang ketika beraktivitas. 

Liputan ini juga merupakan respon terhadap polemik mengenai reklamasi Teluk Jakarta yang kembali mengemuka dengan dicabutnya moratorium reklamasi oleh pemerintah. Banyak masyarakat yang semulanya bergembira dengan moratorium, akhirnya kembali bersuara dan melakukan aksi. Kembali menuntut penghentian kegiatan reklamasi. Suara-suara ini semakin bergema dengan dilantiknya Gubernur DKI Jakarta yang baru, Anies Baswedan.

Polemik mengenai reklamasi adalah sebagian kecil dari banyak permasalahan lingkungan hidup yang mendera negeri ini. Persoalan utamanya adalah tersanderanya ruang dan sistem penghidupan masyarakat. Sistem perekonomian kita masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hasil-hasil sumber daya alam (SDA) secara langsung, maka tidak mengherankan tekanan terhadap upaya-upaya konservasi dan kelestarian SDA menjadi tantangan yang semakin menggema, terlebih di tengah hangatnya isu-isu global seperti perubahan iklim. 

Tentu akan sulit membayangkan terwujudnya pembangunan berkelanjutan jika ketergantungan ini masih sangat tinggi, ditambah lagi kita belum memiliki riwayat yang baik dalam mengelola hal tersebut. Potensi dan kekayaan SDA yang kita miliki tidak lebih semacam kutukan yang terus diwariskan sampai saat ini, indikasinya dapat dilihat dari konflik yang kerap terjadi. Jumlah konflik SDA cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Badan Pertanahan Nasional (BPN) merilis sepanjang 2010-2014 ada sebanyak 5713 kasus yang belum terselesaikan dari total 7491 kasus. Sedangkan, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA)  menyatakan bahwa pada akhir tahun 2013 terjadi peningkatan jumlah konflik sebanyak 86,36% atau 171 kasus dari tahun 2012 atau dari 198 kasus menjadi 369 kasus, dengan luas areal konflik dari seluas 318.248,89 hektar menjadi seluas 1.281.660.09 hektar.

Sekilas kita dapat memaknai konflik yang terjadi serta aksi-aksi yang muncul dari masyarakat sebagai gambaran bahwa tidak tercapainya tujuan-tujuan pembangunan yang direncanakan pemerintah. Proses pembangunan yang seharusnya menyejahterakan masyarakat, justru dalam prosesnya menegasikan masyakat. Dalam konteks yang lebih ekstrem, terjadi pembiaran terhadap praktik-praktik destruktif yang dilakukan korporasi, dan pada akhirnya masyarakat harus menghadapi itu sendiri, tanpa dukungan pemerintah. Sehingga, pada akhirnya masyarakat menjadi kaum kalah.

Beberapa hasil kajian menunjukkan bahwa proses pembangunan memiliki kaitan yang sangat erat dengan komponen sosial, dalam hal ini tentu saja mengenai manusia. Karena apapun proses pembangunan yang dilakukan, manusia selalu berada di setiap tahapannya. Kiranya sungguh benar apa yang dikatakan oleh Jager et al., (2000) bahwa hubungan manusia dengan ekosistem adalah bermuka dua. Pada satu sisi, manusia bergantung pada ekosistem sebagai sumber makanan, bahan baku untuk membangun, dan lingkungan yang sehat sebagai tempat hidup. Namun pada sisi yang lain, manusia juga sering menjarah dan mencemari ekosistem seperti halnya manusia tidak bergantung sama sekali dengan ekosistem. Hal tersebut seringkali dituding sebagai salah satu penyebab terjadinya penurunan kualitas dari ekosistem. Hubungan sebab akibat antara manusia dan lingkungannya semakin dinamis dengan banyaknya komponen yang terlibat. Hal ini tentu saja menjadi peluang sekaligus tantangan untuk mengurainya dan memberikan intervensi yang objektif bagi komponen-komponen yang memiliki posisi strategis. Sayangnya, sekali lagi masyarakat hanya di-nomor sekian-kan. Padahal masyarakat adalah komponen yang sangat strategis.

Secara regulasi, kita sudah memiliki payung hukum yang cukup progresif, yaitu UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau yang biasa disingkat UUPPLH. Regulasi ini sudah banyak membunyikan tentang pembangunan berkelanjutan, khususnya di tahap pengendalian yang diterjemahkan ke dalam berbagai instrumen. Beberapa instrumen yang cukup sering dibicarakan adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Tetapi nyatanya, implementasi dari UUPPLH ini masih menjadi misteri tersendiri. Jika ditelisik lebih dalam, khususnya mengenai kapasitas instansi lingkungan hidup, baik di pusat maupun di daerah, belumlah memadai dalam mengakomodasi amanat UUPPLH tersebut. Bahkan sampai saat ini masih banyak personil di instansi tersebut yang belum mengerti filosofi dari AMDAL, padahal mereka memiliki mandat untuk melakukan penilaian terhadap hal tersebut. Pada akhirnya, mereka menilai sesuatu yang belum mereka kenal. Tidak mengherankan jika banyak kegiatan/usaha yang bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan justru dengan bebas beroperasi dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Pada akhirnya, mau tidak mau, kita bersama-sama mesti merefleksi ulang terhadap komitmen kita terhadap pembangunan berkelanjutan. Kita tidak perlu meniru negara manapun, kita kompleks sesuai dengan anugerah yang diberikan kepada kita. Prinsip-prinsip integrasi antara ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup harus benar-benar diorientasikan untuk masyarakat. Kerangka pikir sebagian para pemegang kekuasaan yang selama ini hanya memikirkan diri sendiri harus bisa digugah demi kelangsungan penghidupan masyarakat. Kita bukanlah pihak-pihak yang anti pembangunan, tetapi sangat mendambakan pembangunan yang memberikan dampak positif terhadap masyarakat.

MY, Pekanbaru, 2017

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun