Saya kembali merasakan sebulan puasa libur 100% ketika SMP sampai SMA karena kebetulan Ramadan jatuh tepat di libur kenaikan kelas.
Tetap saja bukan benar-benar libur, saya dan teman-teman 1 sekolah disuruh membuat semacam laporan amal selama Ramadan, seperti kelengkapan ibadah dan rangkuman ceramah.
Ternyata di era mantan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid pernah ada kebijakan sekolah benar-benar libur selama Ramadan dan beberapa hari setelah lebaran.
Jika ditarik ke belakang lagi, kebijakan tersebut sebenarnya sudah ada di era Hindia Belanda, mencengankan bukan?
Sayangnya, kebijakan ini dianggap meninabobokan umat Islam sehingga terkesan malas untuk berusaha, terutama di bidang pendidikan.
Ini yang paling dibenci di era Orde Baru sampai kebijakan ini dihapus dan aktivitasnya seolah tidak ada libur.
Namun, saya melihatnya lain dari yang lain, justru seperti ada unsur toleransi yang diterapkan oleh 'penjajah' ini.
Apabila dilihat secara pikiran positif, ada hal baik di balik kebijakan diliburkannya sekolah selama Ramadan.
Para peserta didik diharapkan untuk bisa fokus beribadah di samping belajar beberapa mata pelajaran lain yang merupakan aspek duniawi.
Ada beberapa siswa yang menamatkan membaca Al Quran sampai selesai, atau ada yang ikut bakti sosial yang tidak bisa dikerjakan apabila sekolah masih dibuka.
Secara filosofis, sudah 11 bulan belajar tentang duniawi, ada materi agama, tetapi hanya sedikit.