Saya tidak pernah ragu mengambil kredit kepemilikan rumah. Saya adalah seorang karyawan yang saat tulisan ini dibuat berusia 35 tahun. Pada usia ini, saya sedang menjalani kredit kepemilikan rumah (KPR) selama kurang lebih 8 tahun dari 20 tahun masa kredit yang saya ambil pada tahun 2017 yang lalu.
Kalau ditanya mengapa saya membeli rumah melalui KPR daripada tunai, setidaknya ada tiga alasan utama yang sering saya berikan.
Pertama, saya tidak memiliki dana segar untuk membeli rumah secara tunai. Bila saya menunggu dana tunai terkumpul lebih dulu, harga rumah yang saya incar tentu akan semakin melambung. Dana yang telah terkumpul menjadi tidak mencukupi.
Kedua, saya berasumsi seiring bertambahnya waktu lokasi perumahan akan semakin jauh ke pinggir kota. Harga lahan di dekat pusat kota semakin tinggi.
Ketiga, penghasilan saya sebagai karyawan yang belum menikah cukup untuk mencicil rumah. Saya tidak ingin uang saya habis tanpa terasa dan terlihat bentuknya.
Dengan mengambil KPR, secara psikologis pun saya merasa bekerja menjadi lebih termotivasi. Selain itu, saya juga menjadi lebih disiplin mengelola keuangan dan lebih melek produk-produk investasi.
Tentu saja saya harus mengakui bahwa KPR saat ini hanya bisa diakses oleh masyarakat yang memiliki keistimewaan (privilege) tertentu, di antaranya penghasilan bulanan yang memadai dan uang muka yang cukup.
Proses mengambil KPR
Banyak hal yang saya pertimbangkan saat akan membeli rumah. Umumnya, harga, lokasi, dan akses transportasi yang menjadi pertimbangan.
Ada rumah yang harganya masuk budget, tapi lokasinya jauh. Sebaliknya, ada yang tipe rumah dan lokasinya sesuai keinginan, harganya belum berjodoh. Waktu itu, saya masih mengeksplor lewat situs-situs jual beli rumah di internet.
Akhirnya, saya memutuskan untuk mendatangi sebuah pameran properti di Jakarta. Waktu itu tujuan saya hanya ingin melihat-lihat saja, tidak ada niatan untuk membeli. Satu per satu booth pengembang (developer) saya datangi, yang mereknya familiar maupun yang tidak familiar.
Saat itu, booth-booth pengembang yang saya datangi rata-rata mensyaratkan uang muka (down payment---DP) 10-30% dari harga rumah. Bagi saya ini tentu sangat besar. Belum lagi bila harga tersebut belum termasuk biaya proses KPR, seperti biaya notaris dan asuransi jiwa.