Mohon tunggu...
Rizki Luthfiah Aziz
Rizki Luthfiah Aziz Mohon Tunggu... Aktor - An Observer and Participant of Life

Pengelana yang ingin mengarungi samudra kehidupan dan menyelami misteri alam

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tidak semua Abdi Negara adalah Abdi Praja

11 November 2020   14:41 Diperbarui: 11 November 2020   22:45 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tidak bertujuan untuk mengulas secara rinci melalui pendekatan studi ilmiah, meskipun referensi yang digunakan dalam tulisan ini sudah tentu banyak dipengaruhi oleh tulisan-tulisan para peneliti bidang sejarah dan antropologi. Saya sedang sangat tertarik dengan tulisan Kuntowijoyo dalam bukunya Raja, Priyayi, dan Kawula serta Petani, Priyayi, dan Mitos Politik. Ada juga referensi dari peneliti bule yang jauh-jauh ke Indonesia juga untuk menyusun penelitian seputar kehidupan ningrat Jawa era kolonial Belanda, yaitu Heather Sutherland dalam bukunya yang terkenal, The Making of Bureaucratic Elite. 

Bila kita melihat tulisan-tulisan mereka akan dapat kita pahami bahwa wujud dan sifat dari Abdi Negara sudah mengalami banyak perubahan, meskipun secara fundamental penjiwaannya masih tetap sama. Jelas terlihat dari buku-buku Kuntowijoyo, Sutherland, juga penulis-penulis sejarah lainnya, bahwa "masa keemasan" pada Abdi Negara sepertinya jatuh pada masa kolonial di bawah pemerintahan Kerajaan Belanda melalui Hindia Belanda sebelum masa pendudukan Jepang tahun 1942. Dulu Abdi Negara sudah barang tentu seorang Priyayi dan Priyayi adalah sinonim dari Ningrat atau Bangsawan. Gambaran umum tentang Bangsawan pasti mengarah pada mereka yang bekerja di lingkungan istana, bekerja untuk raja dan berwenang dalam urusan-urusan kerajaan. Gambaran sederhana ini memang tidak salah, bahkan dalam buku Raja, Priyayi dan Kawula, Kuntowijoyo mengutip artikel Djoko Setyardo tahun 1907 dengan menulis,

"Priayi adalah pegawai Pemerintah Kolonial. Apa pun pekerjaannya, mereka yang mengabdi kepada raja sudah barang tentu adalah priayi".

Di masa kolonial Belanda, pemerintah Hindia Belanda sejatinya sudah menerapkan Otonomi Daerah yang sangat mirip dengan yang terjadi di Indonesia hari ini. Pemerintah Kolonial memiliki Binnenlands Bestuur, atau BB, yang merupakan lembaga negara yang bertugas menatur dan menjalankan roda birokrasi di wilayah Nusantara, hingga kini lembaga ini dianggap merupakan uyut dari Kementerian Dalam Negeri. BB berisikan birokrat-birokrat Belanda yang menjaga keharmonisan hubungan pemerintah pusat kolonial yang beribukota di Batavia dengan daerah-daerah jajahan yang memiliki penguasa lokal masing-masing. Penguasa lokal adalah raja-raja pemimpin keraton yang untuk diangkat harus melalui restu pemerintah kolonial Hindia Belanda. Raja-raja lokal ini digabung dalam lembaga yang disebut Inlands Bestuur dan inilah bentuk dari otonomi daerah di masa silam. Kemajuan pembangunan dan kondisi sosial-masyarakat di setiap kabupaten sangat bergantung pada Raja lokal yang memimpinnya. 

Dalam tata usaha pemerintahan, para raja lokal harus berkoordinasi dengan birokrat-birokrat BB yang adalah bule-bule Londo, jabatan-jabatan pejabat BB di antaranya: Gouverneur (gubernur), Resident (membawahi beberapa kota) serta Burgemeester (wali kota). Sedangkan Inlands Bestuur adalah wadah yang menyatukan Raja-raja dan kerabat-kerabatnya yang direstui untuk menjadi Bupati, Wedana (membawahi beberapa kecamatan), lurah dan kepala desa. Semuanya adalah para Ningrat yang disesuaikan dengan garis kedekatannya dengan Raja, semakin dekat garis kekerabatannya maka semakin tinggi pula jabatan yang bisa diemban, begitu pula sebaliknya. inilah mengapa daftar Bupati di setiap daerah di Indonesia pasti dimulai dengan barisan para bangsawan, sebagai contoh daftar 5 Bupati Garut (Jawa Barat) pertama adalah: 

1. Raden Adipati Aria Adiwijaya (1813-1831)

2. Raden Adipati Aria Kusumadinata (1831-1833)

3. Tumenggung Jaya Diningrat (1833-1871)

4. Raden Adipati Aria Wiratanudatar VII (1871-1915)

5. Raden Adipati Soeria Kartalegawa (1915-1929).

Dalam menjalankan tugas pemerintahan sehari-hari, setiap kepala daerah dibantu oleh sejumlah Priyayi yang merupakan pendahulu dari para Abdi Negara yang kini kita kenal. Meskipun beberapa Priyayi juga ada yang mengabdikan dirinya menjadi birokrat BB dan bahkan ada yang berhasil menduduki jabatan tinggi, namun yang ingin saya tekankan di sini adalah Priyayi lokal yang membantu raja mengatur wilayahnya. 

Bentuk birokrasi modern di masa kolonial umumnya menjadikan pemerintahan Kasunanan Surakarta dan Kesulatan Yogyakarta sebagai dua wilayah yang memiliki struktur birokrasi yang sudah ajeg dan tertata rapi. Agaknya hal itu pula yang mendorong slogan Kota Yogyakarta sebagai Kota Praja. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata 'praja' berarti 'negeri' atau 'kota'. Maka dulu para Priyayi dikenal juga sebagai Pangreh Praja, bahkan Inlands Bestuur sendiri dianggap terjemahan Bahasa Belanda untuk Pangreh Praja. Menurut kamus kata 'pangreh' berarti 'penguasa' maka Pangrah Praja berarti 'penguasa negeri atau penguasa kota'. Memang terkesan agak represif bila didengar di masa modern sekarang, namun sesungguhnya penamaan tersebut menggambarkan peran-tugas para Priyayi apa adanya karena memang merekalah yang pada masa itu sangat powerful dalam mengatur segala aspek kehidupan masyarakat dalam satu wilayah dari mulai urusan pertanian, perdagangan, pemungutuan pajak, hingga soal keamanan dan ketentraman. Seiring perkembangan zaman istilah Pangreh Praja diganti dengan 'Pamong Praja' yang berarti 'pengayom negeri' dan istilah ini berlaku hingga kini. Seiring berjalannya waktu kesadaran para pelaku pemerintahan semakin jelas bahwa para Priayi, baik disebut sebagai Abdi Raja, Pangreh Praja, lalu beralih menjadi Pamong Praja, semuanya seacara esensial adalah Abdi Negara, karena pengabdian kepada negara lebih utama daripada pengabdian kepada individu. Sedangkan Abdi Negara yang secara khusus bersentuhan langsung dengan masyarakat karena peran-tugasnya berkaitan dengan pengelolaan suatu wilayah akan tepat disebut sebagai Abdi Praja, yang secara harfiah berarti orang yang mengabdi pada kotanya.  

Maka pada kondisi struktur birokrasi pemerintahan Indonesia modern kini tidak seluruh Abdi Negara adalah Abdi Praja, mereka para penerus langsung trah Inlands Bestuur-lah yang masih menjalankan fungsi sebagai Pangreh Praja, bukan Pegawai Negeri di tingkat pusat melainkan justru mereka yang bekerja di pemerintah daerah tingkat terkecil, yaitu Pemerintah Daerah Tingkat II (Kabupaten atau Kota), apalagi mereka yang diamanati jabatan struktural yang mengurusi pengelolaan wilayah dari mulai Camat, Lurah/Kepala Desa, Ketua RW, Ketua RT, sudah barang tentu mereka adalah Abdi Praja. 

Tidak semua yang berhasil menjadi Abdi Negara merupakan Abdi Praja yang mengatur wilayah dan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Meskipun di masa modern untuk menjadi Abdi Praja tidak harus berdarah biru alias ningrat, namun sejatinya mereka tetap menjadi bentuk dari Priayi modern sehingga sepatutnya selalu memberikan contoh baik dalam bersikap, bertutur kata, berbusana dan bekerja untuk kepentingan masyarakat umum di wilayahnya.

Priangan, 11-11-2020

R. Moh. Rizki L. Aziz   

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun