Mohon tunggu...
Mohammad Ichsan
Mohammad Ichsan Mohon Tunggu... -

hanya seorang manusia biasa yang berada pada suatu lingkungan yang bisa dan hanya bervisi ingin menjadi orang bermanfaat bagi orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

"Jazakallah", "Barakallah"

16 September 2010   04:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:12 38755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sekian lama saya tidak menyentuh Microsoft Word, bahkan untuk sekedar menyapanya, membuat tangan ini agak canggung untuk mulai menulis lagi. Padahal kewajiban saya untuk menulis adalah janji pada diri sendiri yang tentunya harus ditepati. Banyak bayang-bayang kejadian yang ingin saya tumpahkan pada MS. Word ini dan inilah salah satunya.

Seperti yang kita iya-kan, bahasa Indonesia adalah bahasa yang kita banggakan, yang kita pergunakan dan dinyatakan sebagai bahasa persatuan sejak 1928 yang ditandai oleh sumpah pemuda. Kongres yang diprakarsai oleh Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia ini memang tidak main-main hasilnya. Terbukti hingga hari ini, seluruh peraturan perundang-undangan, berita televisi, dibidang ke-protokoler-an, dan bidang-bidang lainnya menggunakan bahasa ini alias menjadi bahasa resmi. Efeknya memang sangat besar karena sebagai bangsa merdeka sepertinya kurang mentereng juga jikalau tidak memiliki bahasa sendiri (saya teringat kaum ‘alay’ yang ingin eksis didunia ini dan berusaha memiliki bahasa sendiri yang pada akhirnya sebagiannya malah menjadi bahan cercaan).

Dibalik kesuksesannya bertengger sebagai bahasa negeri yang elok ini, walaupun sering tidak terpakai secara utuh dan lebih banyak yang berbicara dengan bahasa sukunya, bahasa Indonesia juga memiliki kekurangannya. Saya mengutip perkataan Habiburrahman El-Shirazy ketika menjadi pembicara dalam acara bedah bukunya novel ‘Ayat-ayat Cinta’ di MAN Insan Cendekia, “Sejujurnya, bahasa Indonesia itu bahasa yang paling sedikit kosakatanya sehingga bingung untuk mengungkapkan sesuatu” tukasnya. Tapi memang perkataan ini bukan tak berdasar. Lihatlah bagaimana seringnya bahasa ini menyerap kata-kata dari bahasa asing. Ada sekitar 3200-an kata berasal dari bahasa Belanda, sekitar 1600-an kata dari bahasa Inggris, 1400-an kata dari bahasa arab dan banyak lagi lainnya. Tak percaya?! Silakan lihat, kata “asbak”, “ kantor” itu datangnya dari bahasa Belanda, kemudian kata “sabun”, “gereja” dari Portugis, lalu lihat kata “majelis”, “katulistiwa”, “kursi” dari arab datangnya. Ada lagi kata “tante”, “trotoar” yang berasal dari Prancis dan tentunya masih banyak lagi lainnya.

Bukan tidak boleh bahwa kata serapan ini kita gunakan sebagai bahasa kita karena inilah bukti asimilasi budaya yang kita lakukan. Bahkan, ini membuktikan kita adalah bangsa yang pintar bergaul.  Namun, sebaiknya kita bisa menggunakannya sebagai padanan yang tepat dan benar. Maksudnya?!

Sebenarnya tulisan ini berangkat dari kegundahan saya terhadap para pengguna kata serapan ini. Awalnya bahasa kita ini memang menyerap kata perkata. Namun pada perkembangannya, bahasa ini melanjutkan “ekspansi”nya menjadi kalimat perkalimat yang menjadi idiom yang sering diucapkan oleh kita. Contoh saja kata “LOL”, atau “WTF”, atau kalimat lainnya sebagai bahasa percakapan kita. Ada lagi sebagai ungkapan doa, kita sering menukilnya dari bahasa Arab, bahasa yang memang dianugerahi Allah untuk bisa dimaktubkan dalam kitab suci paling spektakuler di muka bumi ini dan di akhirat nantinya, yakni Al-Qur’an. Nah ini yang ingin saya lihat lebih detil, lebih dalam. Bahwa banyak diantara orang Indonesia menukil dengan perasaanya saja dan kadang tidak berdasar. “Kalau bunyinya udah enak atau artinya sudah pas dalam bahasa kita, ya cukuplah itu!” pikir sebagian orang. Padahal ini adalah pikiran yang hampir bisa dipastikan keliru. Dosen saya di Mesir telah menyampaikan “Dalam belajar suatu bahasa, pikirkan diri kita menjadi orang yang menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa ibu. Gunakan strukturnya, idiomnya, pikirannya dalam menggunakan bahasa tersebut. Jikalau kalian masih mengandalkan bahasa kalian kemudian berlari menuju kamus untuk menyampaikan dalam bahasa yang kalian sedang pelajari, maka sangat disayangkan kalian masih dalam tahap menerjemah saja, tidak akan bisa menjadi pembicara”. Perkataan dosen saya terbukti. Banyak dari pelajar bahasa Arab di Indonesia yang hanya sekedar menjadi pengguna kamus semata. Lihatlah kata “Qoola” yang artinya berbicara. Dalam bahasa Indonesia padanan kata berbicara adalah kata “kepada”. Walhasil, penerjemahannya adalah “qultu ilaika” yang artinya saya berkata kepadamu. Penggunaan ini sangat sering saya dengar bahkan oleh para magister di Mesir sekalipun. Padahal ubek-ubek lah al-Qur’an dan kita semua tidak akan menemukan idiom “qola ila” tapi “qola li”. Wa idz qolla robbuka lil malaaikati isjudu dan ini hanya contoh dasar yang menurut saya akhirnya merembet kemana-mana.

Hasil dari kesalahan yang kecil-kecil ini mengakibatkan serapan yang kita gunakan pun tidak sempurna. Lihat kalimat-kalimat yang kini sudah mulai tersebar di bahasa Indonesia di kalangan remaja masjid atau lainnya. Kalimat “ barakalloh” atau “jazakalloh” atau “antum” misalnya, ini yang juga ingin saya benahi bersama. Penggunaanya yang fenomenal tidak diiringi dengan rasa ingin tahu apakah sudah benar dalam menggunakannya atau belum. Sekali lagi, karena merasa sudah enak didengar atau menurut bahasa kita sudah benar yang menjadikan dalil penggunaan yang kurang tepat itu.

Dalam bahasa yang tepat kata “barakallah” dipadankan dengan kata “fii”. “Barakallahu fiikum” itu lebih jelas juntrungannya dibanding kata “barakallah” saja. Begitu pula kata “jazakallah”, sangat bisa dipastikan dengan dalil hadits, penggunaannya adalah “jazakallahu  khairan”.  Saya memiliki kisah tersendiri mengenai kata ”jazakallah khoiran” ini ketika menghadiri daurah (pendidikan kilat) dari para pengajar masjid Nabawi di Madinah. Seorang teman yang bukan dari negara yang sama bertanya pada pengajar yang sedang menyampaikan materinya. Lalu setelah bertanya, ia mengucapkan terima kasih dengan mendoakan pengajar tersebut dengan kalimat “jazakallah” saja yang kemudian disambut dengan ‘hardikan’ pengajar dari arah depan yang membuat seluruhnya menoleh ke arah pengajar. “Jazakalloh isy?!” (jazakallah apa?!) lalu teman saya menjawab “Jazakallah khairan ya syeikh”, lalu pengajar itu tersenyum dan mengatakan “Ayyuah, hakadza, lau taquul jazakallah faqoth fayumkinil ma’na ba’dahu sayyi-ah, fayakun jazakkallah sayyi-ah” (tepat begitu, seandainya kamu hanya bilang “jazakallah” saja maka dimungkinkan kelanjutan kalimatnya adalah “sayyi-ah” yang artinya kejelekan. Jadilah kata tersebut artinya semoga Allah menambahkan keburukan kepadamu). Spontan seluruh murid yang ada di majelis tersebut tertawa dan mengangguk-angguk tanda mengerti.

Inilah tulisan kecil yang saya persembahkan agar menjadi sesuatu bermanfaat dihadapan Allah nantinya dan saya berhutang untuk mengupas kata “antum” yang lebih dahsyat lagi penggunaannya di Indonesia. Kata yang memang sudah hampir menjadi kata tunjuk di negeri ini.

Sekali lagi, ini bukan penetapan hukum yang menyatakan bahawa orang-orang yang menggunakannya bodoh atau salah tapi ini adalah proses pembelajaran yang harus kita lalui bersama dan saya bersyukur memiliki lingkungan yang selalu bersedia untuk nasihat menasihati dalam kebenaran dan kesabaran agar kita semua tidak menjadi hamba yang merugi. Amin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun