Mohon tunggu...
Mohammad Hisar Silalahi
Mohammad Hisar Silalahi Mohon Tunggu... Buruh - Mantan buruh

Pernah gemar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Padahal Saya Pernah Masuk Koran

19 Juni 2019   14:39 Diperbarui: 20 Juni 2019   14:35 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(llustrasi foto : dokumentasi pribadi)

Saya jadi gemar menulis adalah karena senang baca sejak kecil. Dulu di kampung, bahkan koran bekas pembungkus belanjaan Ibu pun saya baca dulu baru dibuang. Dan prestasi saya yang paling awal dalam menulis adalah saat duduk di kelas 5 SD tahun 1971 : juara mengarang dengan judul "Kebakaran". 

Namun saat itu sebenarnya saya merasa menjadi juara bukan karena mutu karangan saya yang bagus, melainkan hanya bentuk rasa kasihan dan prihatin dari guru kelas Pak Hutauruk karena isi karangan saya adalah kisah nyata tentang kebakaran rumah keluarga saya sendiri yang terjadi tahun 1967 saat saya baru duduk di kelas 1 SD.

Sampai tamat SD hingga SMP pun di kampung, hampir tidak ada yang istimewa dalam "karir" kepenulisan saya. Padahal saya kira sebenarnya ada cerita bagus buat karangan.

Lulus SMP tahun 1975 dengan nilai ijasah ranking 3, saya sudah langsung nganggur, tidak bisa lanjut SMTA. Penyebabnya adalah pertanian orangtua yang gagal. Keren kan tamat SMP sudah nganggur ..hehe!

Tahun 1976 akhirnya saya masuk kota. Tentu saja saya mendadak berhadapan dengan berbagai perubahan yang revolusioner dalam hidup saya. Mulai dari pola makan, bahasa, cara bermasyarakat dengan lingkungan yang heterogen dan lain-lain. Dan salah satu yang paling menyiksa adalah rasa "kurang kenyang" terus saat-saat awal tinggal di kota. Maklum, porsi makan di kota kan beda dengan di desa. Hehe...perut dusun!

Pola hidup saya pun praktis berubah. Misalnya, kalau waktu di kampung saya cuma bisa baca sobekan-sobekan koran bekas, kini saya punya kesempatan numpang baca koran baru dan lengkap apabila sedang disuruh ke warung makan atau kedai kopi. O ya, sekedar catatan, dulu di Medan itu warung-warung kopi rata-rata menyediakan koran gratis untuk dibaca konsumennya. Jadi bahkan abang-abang becak pun dapat kita lihat biasa baca koran di warung.

Karena sering numpang baca di warung-warung itu pulalah akhirnya suatu hari saya jadi tertarik akan satu surat kabar yang setiap edisi hari Sabtu menyediakan satu halaman khusus yang mereka sebut sebagai rubrik sastra. Isinya adalah tulisan-tulisan berbentuk puisi dan cerita pendek. 

Ternyata, itu semua adalah kiriman para pembaca. Akhirnya saya pun merasa "iri" dan ingin segera ambil bagian. Bah...padahal hingga telah pensiun begini pun saya tak pernah bisa mendefinisikan sastra.

Tapi saya lebih dikuasai hawa nafsu belaka ingin segera masuk koran! Unik juga ya. Baru datang dari dusun sudah langsung ingin terkenal.
Saya mengawalinya dengan mencoba bikin puisi karena saya menganggap puisi lebih enteng dari pada cerita pendek. Ini berdasarkan pemikiran karena puisi hanya terdiri dari kata-kata pendek.

Kenyataannya, sampai lebih dari lima kali kirim puisi, satu pun tidak berhasil dimuat. Benar-benar menguras kesabaran, sampai sempat berfikir "kotor" bahwa tulisan-tulisan yang berhadil dimuat adalah kiriman milik teman atau saudaranya redaksi pengasuh.

Bisa Anda bayangkan bagaimana repotnya proses kirim surat-menyurat kala itu. Dari menyiapkan karangan dengan lampiran surat pengantar kepada redaksi, amplop, perangko serta terakhir mengirimkannya melalui jasa kantor pos.

"Untungnya", bagi yang karyanya belum berhasil dimuat, redaksi menyediakan daftar nama-nama pengirim dan judul tulisannya. Itu pun sudah sangat menghibur hati.

Lebih dari lima kali belum pernah dimuat membuat saya beralih merintis bikin cerita pendek. Ternyata sama saja, tidak mudah..dan jelas sulit.
Namun dengan semangat dan prinsip "gagal coba lagi gagal coba lagi", akhirnya saya adalah manusia paling bahagia dan hebat di muka bumi ketika pada suatu hari Sabtu karangan cerita pendek saya dimuat di surat kabar tersebut. 

Tidak usah bilang aneh bila themanya bukan cinta remaja, melainkan cerita piring terbang dengan judul "Demam UFO". Itu berarti sekitar tahun 1978 atau 1979 ya yang memang berita UFO saat itu sangat ramai melanda dunia.

Sabtu dimuat, Senin lusanya saya langsung terkenal di sekolah. Betapa bangganya karena banyak teman-teman yang memberi ucapan selamat, termasuk guru Bahasa Indonesia. Namun saya tidak mendapat honorarium atas pemuatan tulisan tersebut. Saya hanya cukup menikmati euforianya saja. Hehehe...

Dulu di Medan ada beberapa koran daerah. Dan cukup banyak yang menyediakan halaman khusus buat karya sastra setiap pekan. Akhirnya saya juga mengirim tulisan ke surat kabar -- surat kabar yang lain. Itu membuat saya makin banyak referensi dan pengalaman sekaligus pengetahuan. Misalnya, jadi tahu bila tiap surat kabar punya kebijakan, sikap serta tingkat kesulitan sendiri dalam menerima tulisan. Jadi tahu juga bahwa tidak semua surat kabar punya kebijakan untuk membayar tulisan yang dimuat.

Proses gemar menulis saya bertumbuh makin subur. Mulailah saya meningkat kirim tulisan ke  surat kabar dan majalah ibukota. Sudah tentu tingkat kesulitannya pun meningkat. 

Maka tak heran bila sejumlah tulisan yang dikirim ke berbagai media lebih banyak yang tidak dimuat dari pada yang berhasil di muat. Tapi pilihan menjadi lebih banyak dan bervariasi. Honorariumnya pun lebih besar. Ada Kompas, Sinar Harapan, Gadis, Anita, Femina, Kartini, Sarinah, Dewi, Putri, Putra, Hai dan lain-lain.

Menarik juga untuk dikenang, tulisan saya yang pertama kali dibayar adalah sebuah cerita pendek (cerpen). Dibayar Rp.250,- oleh surat kabar berinitial "A" di Medan. Tapi judulnya saya sudah tidak ingat. Dokumentasinya pun tidak ada. Oya, waktu itu ada tren menulis nenggunakan nama samaran.
                             ***
Namun sangat disayangkan, sejak bekerja secara formal, saya jadi mandek menulis. Saya selalu cari-cari dalih sebagai penyebabnya. Sibuk, waktu yang tidak cukup, perhatian yang tersita oleh hal-hal yang di luar perhitungan, tak ada upaya memelihara minat dan sebagainya. 

Namun menurut saya terutama adalah karena tak punya manajemen waktu yang baik. Bayangkan, mandek menulis selama berpuluh-puluh tahun, jelas suatu hal yang sangat merugikan.

Mari sejenak kembali menyimak judul tulisan ini. Maksud saya, semoga haru ini bisa bangun dari hibernasi panjang. Dulu di jaman pelik saja bisa masuk koran, padahal prosesnya cukup rumit. 

Bayangkan, semua karangan ditulis tangan. Mesin tik termasuk barang mewah. Tak banyak yang memilikinya secara pribadi di rumah. Rata-rata orang baru mengenal mesin tik setelah bekerja formal di kantor. Dan memang banyak redaksi yang mengizinkan karangan ditulis tangan, asal jelas serta mudah dibaca.

Tiap karangan jarang yang langsung rampung. Pasti perlu perbaikan dalam bentuk penambahan mau pun pengurangan di sana-sini. Dan itu biasanya butuh berlembar-lembar kertas yang nasibnya harus dirobek-robek lalu masuk tempat sampah.

Setelah karangan rampung pun, kita masih harus membuat surat permohonan kepada redaksi agar berkenan memuat tulisan kita. Lalu untuk mengirimkannya, tentu saja pada luar amplop (biasanya di bagian pojok kanan atas) harus ditempel perangko yang nominalnya sesuai dengan ketentuan Kantor Pos. 

Dan yang terakhir, menyerahkannya ke Kantor Pos. Juga bisa dengan cara memasukkannya melalui celah-celah bis surat yang banyak berdiri di pinggir jalan besar. Menguras tenaga dan fikiran kan?

Lha...sekarang  di jaman enak internet yang sensasi kebebasannya sungguh merdeka jaya raya, kenapa masih berhibernasi? Bukankah kini menjadi seorang penulis betapa jauh lebih mudah, bikin saya iri kalau ingat jaman dulu? Bisa dikatakan hanya butuh satu sentuhan saja untuk memublikasikan ("menerbitkan") suatu tulisan, baik di blog, media sosial dan aplikasi-aplikasi lainnya. 

Tidak perlu lagi ada surat permohonan ke redaksi  minta dimuat, dan sama sekali tidak perlu menunggu lama-lama. Hanya dalam hitungan detik kita langsung melihat tulisan dan nama kita dimuat. Lihat Kompasiana! Luar biasa serta alhamdulillah karena kita termasuk umat yang beruntung nenikmati era internet.

Lalu kenapa sekarang tidak menulis lebih produktif?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun