Dalam kepulangan sosiologis kali ini. Saya ingin memparafrasakan  Mey day dalam perspektif dialektis masalah Dunia Ketiga yg sangat kompleks, dalam relasi pedesaan. Di mana pembangunan selalu saja menciptakan masalah struktural lalu, sebaliknya proses ekonomi, politik dan kultural selalu saja menopang konsep pembangunan yang ada.
Wolf dan resenick (1987) mendefinisikan sistem ekonomi Dunia ketiga, sebagai sistem Ekonomi yang digunakan oleh pembangunan, dan mengandung ketidakadilan, karena ada kelompok masyarakat yang memproduksi nilai lebih yang diambil oleh mereka yang tidak bekerja. Mereka tidak diajak bernegosiasi tentang berapa upah mereka serta tidak diberi kebebasan untuk berorganisasi untuk mendidik diri dalam memperjuangkan nasibnya. (Dr.Masnshor Fakih: Sesat Pikir Teori Pembangunan Dan Globalisasi).
Kebijakan kultural pedesaan saat ini sangat tergantung pada proses kelas utama (fundamental class process) yang terjadi dalam suatu formasi sosial di pedesaan negara Dunia Ketiga. Para pengeplai-modal; dari tingkat lokal, nasional, dan internasional pada dasarnya selalu menerima nilai lebih dari keringat petani pedesaan dan sebagai imbalannya mereka mengupayakan berbagi hal untuk melanggengkan proses kelas dikawasan pedesaan tersebut. Yang dimaksud proses kelas di pedesaan adalah proses di mana para petani yg bekerja dan menghasilkan nilai lebih, tapi diambil oleh yang tidak bekerja (majikan petani penggarap), lalu di didistribusikan kepada kelas menengah perantara (subsumed kelas), termasuk pemilik tanah, bunga kredit, benih, pupuk dan pesisida yang ditandai oleh Bank Dunia serta pajak kepada Pemerintah.
Ini baru salah-satu relasi determinan, yang timpang dalam desa. Belum dengan kompleksitas Kota. Lalu kenapa desa harus menuju kota? Kenapa juga kota selalu tunduk pada paradigma pembangunan yang telah mengakar? Ah,, sudah dulu, "kepulangan ini bukan hanya kepulangan sosiologis, ini kepulangan ilahiah," kata ibu.
Selamat Hari Buruh. Minal Aidin walfaidzin.