Ramadhan 1446 H akan segera tiba dalam hitungan hari. Bulan suci itu menjadi momentum yang paling ditunggu-tunggu oleh umat Islam karena Ramadhan identik dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Bagi mereka yang menjalani ibadah puasa Ramadhan, kegembiraan adalah menahan lapar dan dahaga saat. Kegembiraan juga terasa saat berada dalam penantian kedatangan maghrib, ketika berbuka bersama keluarga, shalat tarawih, tadarrus, atau berbagi makanan kecil kepada tetangga. Kegembiraan itu menjadi berlipat saat lebaran tiba.
Di balik kegembiraan itu, satu hal yang tidak dapat dihindarkan selama Ramadhan hingga Hari Raya Idul Fitri adalah meningkatnya pengeluaran rumah tangga. Fakta ini menimbulkan kesan Ramadhan sebagai bulan anomali, khususnya bagi umat Islam. Puasa Ramadhan yang ditempatkan sebagai bulan pengendalian diri, dalam hal ini kegiatan konsumsi, malah sebaliknya. Alih-alih memilih perilaku hidup hemat, Ramadhan menjadi periode dimana masyarakat mengalami anggaran belanja rumah tangga yang selalu membengkak.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan meningkatnya pengeluaran selama Ramadhan, yaitu, kebutuhan makanan, pakaian, hiburan, mudik, dan sosial.
Makanan
Salah satu kebutuhan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri yang menyebabkan meningkatnya pengeluaran adalah makanan. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan pola dan menu makanan saat Ramadhan.
Ritual puasa mendorong keluarga mengalami perubahan menu makanan baik saat berbuka maupun sahur. Ketika berbuka puasa, misalnya, dengan alasan “balas dendam terselubung” setelah berlapar-lapar selama kurang lebih 12 jam, kita lalu memilih makanan yang dipandang paling istimewa, bervariasi, dan porsi yang lebih banyak dari biasanya. Saat sahur pun sebagian besar orang melakukan perubahan dengan memilih makanan yang bernutrisi. Bahkan untuk mensuplai lebih banyak energi dalam menjalani puasa sebagian orang mengkonsumsi vitamin.
Beberapa keluarga tidak jarang berbuka puasa di luar rumah atau di pusat kuliner. Risikonya tentu saja harga makanan yang lebih mahal akan menggandakan pengeluaran. Belum lagi biaya transportasi seperti sewa kendaraan atau sekadar BBM jika menggunakan kendaraan sendiri.
Kebutuhan makanan tidak saja untuk konsumsi keluarga tetapi juga untuk orang lain. Hal ini terlihat dari kebiasaan berbagi makanan untuk berbuka atau takjil. Di kehidupan kampung, sudah lumrah ibu-ibu saling mengantarkan masakan dengan tetangga menjelang maghrib.
Orang-orang mampu (dan dermawan) akan mengambil bagian dalam gerakan berbagi dengan menyediakan makanan untuk berbuka secara gratis pada posko-posko yang telah ditentukan, seperti, di masjid.
Kebutuhan makanan berlipat ketika lebaran tiba. Makanan itu tidak saja untuk kebutuhan keluarga tetapi juga sebagai jamuan untuk tetamu, kerabat, atau sahabat yang berkunjung. Tidak jarang dijadikan sebagai oleh-oleh bagi mereka yang mudik.
Pakaian
Tidak perlu penelitian untuk menyimpulkan bahwa kebutuhan pakaian menjadi faktor bertambahnya pengeluaran saat lebaran. Dapat dipastikan semua anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga merasa tidak lengkap tanpa pakaian baru saat lebaran.
Saya sendiri memiliki tiga orang anak yang memerlukan pakaian baru untuk merayakan kegembiraan karena merasa menjadi pemenang setelah berjibaku melawan hawa nafsu selama sebulan penuh dalam bulan Ramadhan. Saya belum pernah mencatat secara detail berapa nilai harga pakaian yang harus saya keluarkan untuk membeli kebutuhan tersebut. Namun, saya pastikan bahwa pakaian lebaran menjadi salah satu faktor yang memiliki andil cukup besar dalam pengeluaran.