Suatu sore, beberapa hari yang lalu, bungsu saya yang baru usia 6 tahun mengalami insiden kecelakaan kecil ketika melakukan aksi balap sepeda bersama teman-temannya di jalan kampung depan rumah. Insiden itu mengakibatkan cedera yang cukup membuat saya sebagai orangtua prihatin. Dua luka, di kening dan sudut bibir, mengalirkan darah segar setelah dia tersungkur membentur bumi.
Saya segera membawanya kepada seorang teman dekat yang bekerja sebagai tenaga medis. Rupanya luka itu cukup serius sehingga dia harus mendapatkan jahitan di dua area tersebut.
Tindakan medis dengan suntik bius sekitar cedera dan jarum jahit membuat si Bungsu meronta, berteriak, dan menangis sejadi-jadinya menahan sakit. Belasan menit berlalu penanganan medis selesai. Tangisan sang Pasien perlahan surut. Dua botol kecil obat dalam bentuk sirup diberikan. Mungkin untuk mencegah infeksi dan mengurangi rasa sakit.
Setelah mendapatkan perawatan, saya membawanya pulang saat cahaya senja mulai pudar dan malam menjelang. Di belakang jok kuda besi tua, masih tersisa satu dua sesenggukan. Dalam pangkuan ibunya, si Bungsu ingat anak ayam kesayangannya yang dibelinya seminggu yang lalu.
"Bu, kasihan Bili. Tidak ada yang menemani," suaranya yang masih serak mengingat ayam yang dia beri nama Bili.
"Kan, ada kakak di rumah yang jagain," ibunya menenangkan.
Saya merasa geli mendengar percakapan anak beranak itu. Dalam kondisi sakit dia itu masih ingat ayamnya.
Tiba di rumah, sebagaimana kebiasaan warga di kampung, tetangga dan keluarga di sekitar akan berduyun-duyun datang menjenguk jika ada warga yang sakit. Biasanya mereka membawa buah-buahan, roti, atau makanan lain. Satu dua orang menyodorkan uang kepada si Bungsu.
Hal lain yang membuat saya tersenyum sendiri ketika si Bungsu mengaku merasa beruntung jatuh dari sepeda karena diberikan uang oleh orang-orang yang menjenguknya.
***