Mohon tunggu...
Yamin Mohamad
Yamin Mohamad Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saya Dipalak Siswa

19 Juni 2022   01:29 Diperbarui: 19 Juni 2022   07:17 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Waktu istirahat tiba," demikian bunyi aplikasi pengaturan jam belajar dari perangkat sound system milik sekolah.

Sejak pagi saya sendiri duduk di atas kursi hidrolik dalam ruang kerja menghadapi layar laptop untuk menyelesaikan beberapa naskah tentang laporan kegiatan sekolah. Biasanya di atas meja saya selalu menyediakan sebotol air mineral. Tetapi hari itu hanya ada botol plastik kosong. Saya mengambil botol itu dan keluar untuk melepaskan penat dan merefresh pikiran.

Saya berdiri di pintu yang berhadapan dengan halaman sekolah. Tampak anak-anak telah berhamburan ke luar untuk memanfaatkan jam istirahat. Sejumlah siswa laki-laki berlari ke halaman sekolah. Salah satunya membawa bola. Dalam waktu singkat sudah siaga dua tim sepak bola yang siap bertanding. Harusnya terdiri dari sebelas orang untuk masing-masing tim. Tetapi anggota tim sepak bola itu berbeda. Salah satunya terdiri dari 6 orang. Tim lainnya 8 orang.

Pertandingan sepak bola dimulai tanpa wasit, tanpa batas waktu. Saat permainan sudah berjalan, tidak ada bola keluar lapangan, handball, atau offside. Bola itu seolah pasrah disepak dari satu kaki ke kaki lainnya.

Sebagian besar anak laki-laki memang suka bola. Energi mereka untuk mengejar bola seperti tidak ada habisnya. Mereka tak kenal lelah. Bahkan usai sekolah mereka tidak langsung pulang. Dalam cuaca panas paling ekstrem mereka seperti memiliki suplai tenaga yang tidak berkurang sedikitpun. Kulit mereka seperti kebal dengan terik matahari..

Saya tersenyum menyaksikan aksi bocah-bocah itu. Pemandangan itu membuat lukisan masa kecil saat saya juga melakukan hal yang sama. Hanya saja bolanya bukan bola seperti sekarang. Saya dan teman-teman membuat bola dari lapisan gedebog pisang yang telah mengering. Gedebog itu digulung sehingga membentuk bulatan sebesar bola. Agar gedebog tidak terurai bola itu diikat tali dengan membuat simpul di sekujur permukaannya.

Masih lekat dalam ingatan, permainan itu dilakukan di sawah saat musim kemarau. Tanah sedang mengering dan pecah-pecah. Anak-anak sekarang tidak pernah membayangkan bagaimana bermain di atas permukaan tanah sawah dengan lubang menganga. Tanpa sepatu.

Ah. Betapa indahnya masa kecil. Hidup tanpa beban kecuali beban tugas dari sekolah. Selebihnya hanya keceriaan. Atau kesedihan sementara saat menyaksikan teman-teman memiliki mainan baru. Atau ketika lebih besar lagi, kesedihan anak-anak masa kini ketika melihat teman-teman memiliki handphone dan asyik main game atau nonton tiktok.

"Adit," saya memanggil seorang siswa yang melintas di antara dua tim bola yang tengah beradu. 

Aditya siswa kelas 6. Hari itu Aditya tidak ikut main bola. Dia paling sering saya minta bantuannya untuk membeli sesuatu pada sebuah kios kecil dekat sekolah. Jika Adit tidak ada saya minta bantuan siswa lain. Mendengar namanya dipanggil Aditya berlari kecil menhampiri saya. 

"Adit tidak ikut main?"
:Tidak Pak."
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Ada tugas diberikan Pak Samsul, Apa yang mau dibelikan Pak?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun