Mohon tunggu...
Yamin Mohamad
Yamin Mohamad Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peresean, Adu Cambuk dalam Sportivitas

26 Januari 2022   11:50 Diperbarui: 25 Maret 2022   01:04 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : Kumparan,com

Peresean atau perisean merupakan sebuah olah raga ekstrem yang sudah berkembang sejak abad ke 13 pada masyarakat Sasak (Lombok). Olahraga ini merupakan pertarungan dua laki-laki dengan senjata tongkat yang terbuat dari rotan (penjalin: Sasak). Petarung dalam budaya adu cambuk ini dilengkapi dengan ende (perisai) atau pelindung yang terbuat dari kulit kerbau atau kulit sapi yang telah mengeras.Petarung itu disebut pepadu. 1

Pertarungan peresean dilakukan di ruang terbuka. Peresean dipimpin pekembar (wasit). Pepadu dipilih secara acak oleh pekembar pada saat peresean digelar. Saat bertarung pepadu mengenakan ikat kepala, tanpa baju, dan kain yang dililitkan di pinggangnya. Peresean berlangsung selama 3-4 ronde untuk setiap pertarungan. Aturan main peresean paling penting adalah pepadu hanya memperbolehkan menyerang lawan pada anggota tubuh dari pinggang ke atas. Saat pertarungan berlangsung, kelompok penabuh gamelan memainkan alat musik khusus peresean yang menyulut semangat keberanian dan membakar ambisi meundukkan lawan.

Pertarungan akan berakhir jika salah satu petarung mengalami "pecok". "Pecok" adalah sebuah kondisi pendarahan pada petarung karena terkena pukulan pada bagian kepala. Jika berhasil membuat lawan "pecok" maka seorang pepadu dianggap sebagai pemenang. Pada saat yang sama, pepadu yang "pecok" akibat pukulan lawan dianggap kalah. Pertarungan juga dapat dihentikan jika salah satu pepadu mengalah apabila merasa tidak kuat melanjutkan peresean atau pertarungan dihentikan pekembar.

Menurut para tetua dan cerita turun menurun, di masa lalu peresean merupakan sebuah ritual yang disakralkan. Dalam masyarakat sasak, peresean merupakan ritual minta hujan saat mengalami kemarau. Itu sebabnya, peresean dilaksanakan pada ujung musim kemarau. Sekarang peresean tidak lagi menjadi ritual tetapi tetap menjadi salah satu tradisi bela diri yang terus dikembangkan. Bahkan pemerintah mendukung pengembangannya dengan menyelenggarakan event pada level daerah. Semua pepadu terkenal dari berbagai tempat di Lombok diundang untuk meramaikan event tersebut.

Anak-anak sasak di masa lampau akrab dengan peresean. Saya ingat betul, keindahan masa kecil saya diwarnai dengan peresean. Senjatanya tentu bukan penjalin tetapi pelepah pisang yang telah kering. Sebagian dari anak-anak yang mampu bertahan dari rasa sakit, sepakat menambahkan sapu lidi ke dalam pelapah pisang agar senjata lebih keras. Ende atau perisainya bisa apa saja. Pilihannya bisa sarung yang digulung pada lengan kiri, anyaman bambu yang yang dirancang seperti sebuah perisai, atau nyiru tak terpakai yang dimodifikasi menjadi ende. Dari sinilah pepadu itu tumbuh. Saat beranjak remaja mereka mulai tampil pada peresean antar kampung. Demikian seterusnya sampai pada skala peresean yang lebih besar.

Menjadi pepadu peresean tidaklah mudah. Sebagaimana olahraga ekstrem pada umumnya pepadu harus memiliki nyali dan kemampuan bertahan dari rasa sakit. Pecok bagi seorang pepadu biasa. Mereka harus siap menerima bilet (bekas pukulan cambuk, dan sejenisnya). 

Seagaimana kepercayaan masyarakat masa pra-industri pada umumnya, seorang pepadu biasanya membekali diri kemampuan mistis yang dipercaya mampu menggandakan energi dan menyedot energi lawan. 

Tidak ada seleksi formal yang membawa seorang laki-laki suku Sasak untuk mendapatkan predikat pepadu. Tidak ada sasana tempat menempa diri dan tidak ada sertifikasi pepadu. Seorang petarung peresean "dinobatkan" sebagai pepadu benar-benar melalui "seleksi alam". Pepadu belajar memukul lawan di ruang pertarungan sesungguhnya. Belajar dan bertarung menjadi satu kesatuan. Pepadu berlatih di arena sekaligus bertarung menggunakan penjalin. Pepadu beraksi di arena pertarungan sambil belajar memaksimalkan memainkan perisai (ende), meningkatkan kemampuan berkelit, dan belajar bagaimana membuat lawan "pecok". Makin sering seorang pepadu terlibat dalam pertarungan makin piawai dia memainkan penjalin, menggunakan ende, dan menaklukkan lawan. Tidak seperti olahraga ekstrem pada umumnya, saat akan mengikuti sebuah peresean pepadu tidak perlu berlatih karena mereka telah terlatih. Pepadu kawakan bahkan selalu siap turun arena kapan saja mereka diminta bertarung.

Pepadu peresean tidak saja memiliki kemampuan menyerang dan bertahan. Mereka juga melengkapi diri dengan kematangan emosional. Saat bertarung dua pepadu memiliki ambisi yang sama--menundukkan lawan, meninggalkan bilet pada tubuh lawan, atau membuat pecok atau mengucurkan darah pada pepadu lawan. Tetapi di luar arena ketika pertarungan usai dua pepadu dapat ngopi, merokok, dan makan bersama. Di sinilah sportivitas peresean dijunjung tinggi. Dalam arena peresean dua pepadu adalah lawan. Di luar arena mereka menjadi kawan. Tidak ada dendam yang dibawa keluar dari kancah pertarungan.

Lombok Timur, 26 Januari 2022

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun