Mohon tunggu...
Mohammad Siddiq
Mohammad Siddiq Mohon Tunggu... profesional -

Ayah dari 4 orang anak, dan suami dari 1 orang isteri. :)

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Untuk Apa Kita Belajar Bahasa?

15 November 2012   15:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:17 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Pada suatu ketika, saya sedang menghadiri pertemuan keluarga besar, hadir di sana banyak sekali anggota keluarga. kali ini kami mengadakan pertemuan di kediaman salah seorang om saya yang berprofesi sebagai seorang dokter spesialis bedah anak dan bekerja di salah satu rumah sakit swasta terkemuka.

Setelah acara formal berlangsung, kami melakukan acara ramah tamah dan berbincang-bincang bebas, nah saat itulah percakapan saya dan om saya itu terjadi. Sebagai seorang yang bisa dikatakan sering bergelut dengan ilmu sains, ia berpendapat bahwa pelajaran bahasa Indonesia di sekolah itu tidak penting.

“saya sebenarnya bingung, untuk apa pelajaran bahasa indonesia di sekolah-sekolah itu perlu diajarkan, menurut saya itu gak penting, karena tanpa diajarkan di sekolahpun kita nyatanya bisa berbahasa Indonesia”.

Kemudian saya menjawab, “ya, kan agar dapat meningkatkan persatuan, Indonesia kan majemuk om, belum tentu yang di daerah itu sudah pada lancar berbahasa indonesia”.

“saya itu sebenarnya ga setuju dengan yang namanya nasionalisme, lihat itu negara-negara Islam di timur tengah, semuanya pecah gara-gara nasionalisme” katanya.

“kalau menurut saya sih, kalau masalah negara-negara di timur tengah memang sepertinya ada pergesaran dari Pan Islamisme ke Pan Arabisme, tapi memang sepertinya dasarnya manusia itu, ya berkelompok, bersuku dan berbangsa sih om, itu menurut saya lho” jawab saya.

“tapi saya tetap belum sepakat itu, tentang pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, ga ada manfaatnya, kalau sains itu kan pasti, tapi kalau bahasa, wah... bingung saya bantuin PR bahasa Indonesia sepupumu itu, saya bilang saja ke dia... udah kalau urusan bahasa Indonesia jangan tanya sama papa deh, kalau fisika, biologi, boleh sini” ujarnya.

Kamipun kemudian pindah, dari ruang tamu menuju teras, sambil masing-masing membawa segelas es buah yang memang menambah segarnya diskusi saat itu.

“kalau menurut saya ya om, belajar bahasa itu paling tidak manfaatnya ada tiga, mengasah logika, estetika dan etika” jawab saya.

“estetika dan etika okelah, tapi kalau logika itu urusan matematika, bukan bahasa” jawabnya dengan tegas.

“logika kan berkaitan dengan proses nalar om, seperti deduktif, induktif, itu kan proses nalar, jadi menurut saya sih, mengasah logika selain dengan matematika ya juga dengan bahasa om” kata saya menimpali.

“ah, tapi tetap saja saya belum setuju belajar bahasa di sekolah itu, untuk apa, tidak ada gunanya, lebih baik belajar tentang sejarah nabi, atau sahabat-sahabatnya, kan lebih berpahala” katanya lagi seperti tak mau kalah dalam berpendapat.

“kalau menurut saya sih om, masalah berguna atau tidak itu adalah persoalan setelah mempelajarinya apakah kita gunakan atau tidak, kalau yang saya perhatikan sih, masalahnya adalah, kebanyakan model pendidikan kita itu seringkali lupa, untuk mengaitkan antara ilmu yang diajarkan di sekolah dengan realita kehidupan siswanya, misalnya saja tadi, siswa-siswa diajarkan tentang proses nalar itu ada induktif dan deduktif, ketika ditanya apa induktif dan deduktif itu? Wah pada jawab dengan lancar semua itu... tapi ketika diminta, hayo coba bagaimana memanfaatkan atau mengaplikasikan induktif dan deduktif itu ke dalam karangan bebas, surat menyurat, pidato, karya ilmiah... kebanyakan pasti pada bingung kan? Jangan kan yang ilmiah om, ke dalam surat cinta saja pasti bingung, he he he” ujarku dengan sedikit berkelakar.

Jidat om ku sedikit mengkerut, seperti sedang memikirkan sesuatu tentang induktif dan deduktif tadi. “Om tau kan sinus cosinus sama tangen cotangen?” tanyaku.

“tau” jawab dia.

“nah kadang-kadang kita lupa tuh om, mengaitkan antara rumus-rumus itu dengan kehidupan nyata anak-anak, om... jadi bisa saja bagi sebagian orang, mereka akan mengatakan, untuk apa belajar rumus-rumus itu, ga ada gunanya tuh dalam kehidupan, mending belajar bahasa, jelas dipake... he he he” kataku cengengesan.

Sambil meletakkan tangan kanannya didagu dan semakin mengerutkan jidatnya lagi, dengan wajah serius dia kemudian berkata “okelah, saya sepakat belajar bahasa itu mengasah logika, estetika dan etika, tapi kalau mau belajar bahasa, saya mendingan belajar bahasa Arab, kalau bahasa Indonesia itu kan miskin, tapi kalau bahasa Arab itu kaya, ya kamu tau lah, kamu kan sarjana bahasa Arab”.

“saya setuju om” ujar saya dengan lugas, om saya seperti berbinar saat saya sepakat dengan pendapatnya.

“bahasa Indonesia memang tidak sekaya dan semapan bahasa arab om, karena memang usianya masih muda, dan masih akan terus mengalami perkembangan layaknya bahasa Inggris yang pada awalnya juga belum semapan bahasa Inggris yang sekarang. Yang saya tau, bahasa Arab itu memang mapan secara struktur, dan bila dikaitkan dengan AlQuran, pasti ada alasannya mengapa kitab suci kita itu turunnya dalam bahasa Arab. Walaupun menurut saya, bahasanya AlQuran itu sedikit beda dengan bahasa Arab, atau ya, bisa dikatakan, bahasa Arab tingkat tinggi lah, he he he” jawab saya.

“tuh kan bener saya, kita mendingan belajar bahasa arab daripada bahasa indonesia” katanya lagi dengan semangat.

“iya om, kalau saya lahir di Arab dan bahasa ibu saya itu bahasa Arab, pasti saya belajar bahasa Arab duluan, sampe tuntas, kalau perlu sampe tingkat sastranya, karena itu tadi, mengasah estetika, tapi berhubung saya lahir di Indonesia, dan bahasa ibu saya itu bahasa Indonesia, ya saya belajar bahasa Indonesia dulu, kalau bahasa ibu saya, bahasa sulawesi, ya harusnya belajar bahasa sulawesi itu sampe tuntas, sampe bener-bener tuh, logika, estetika sama etikanya terasah, ya paling tidak, supaya pas bicara sama orang tua jadi lebih santun lah, he he he” kata saya cengengesan lagi.

Sepertinya om saya ini adalah orang yang keras kepala, “saya tetap belom setuju, belajar bahasa Indonesia di sekolah, mending belajar agama, masalah etika, sudah jelas” katanya lagi dengan tegas.

“wah kalau itu sih, saya sepakat deh om... tapi gini, kalau saya sih, pada akhirnya, belajar apapun itu, matematika, bahasa, IPS, IPA, sejarah, dan sebagainya, adalah karena memang Allah yang menyuruh kita belajar... kita belajar untuk mengenali Allah lewat ayat-ayat-Nya, yang qauliyah yaitu AlQuran dan yang kauniyah yaitu alam semesta, yang adanya ya di IPA, IPS, bahasa, dan sebagainya itu, begitu sih om” jawab saya dengan santun dengan tidak bermaksud untuk mengguruinya.

Perbincangan terus bergulir panjang lebar, hingga matahari perlahan mulai terbenam, bergelas-gelas es buah telah dihabiskan dan Om saya pun masih tetap pada pendiriannya yang teguh itu. (DiQ)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun