Mohon tunggu...
Moh. Ilyas
Moh. Ilyas Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bangsa dan Pelajaran Hijrah dari Tjokroaminoto

21 Juli 2017   17:12 Diperbarui: 21 Juli 2017   17:16 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Kita harus tetap memelihara harapan, sekecil apa pun."
(Tjokro)

JIKA Anda menonton film "Guru Bangsa: Tjokroaminoto", satu kata yang  akan langsung melekat dalam kepala Anda, yakni "Hijrah". Dalam  film drama Indonesia yang disutradarai oleh Garin Nugroho ini, kata  hijrah seperti keyword utama film ini, sehingga ia divisualisasikan harus berdebat dengan seorang dari Yaman yang pro-Belanda karena kata hijrah ini.

Ya, hijrah menjadi diksi yang banyak dipilih dan diulang-ulang bahkan  hingga di ujung cerita. Saat akhirnya hendak dipenjara pun, kata hijrah  juga masih terucap dari lisan Tjokroaminoto: "Ataukah penjara adalah  hijrahku?"

Lalu, kenapa kata hijrah ia terus-terusan dipilih? Karena kepengapan,  kecemasan, dan kekecewaan tokoh guru bangsa ini dalam melihat realitas  politik saat itu.

Kolonialisme dan penindasan yang dilakukan Hindia Belanda yang terus  berlangsung di berbagai tempat membuatnya tidak nyaman. Dia berpikir  harus keluar dari zona nyaman dengan memilih hijrah. Bukankah Nabi  Muhammad SAW hijrah ke Yatsrib/ Madinah untuk mengumpulkan kekuatan  sehingga bisa melakukan Fathu Makkah?

Tjokro sadar, bangsa ini tidak bisa terus-menerus hidup di bawah  ketiak asing. "Bangsa ini harus punya pemerintahan sendiri," ujarnya  saat awal-awal keterlibatannya memimpin Sarekat Islam yang merupakan  perubahan nama dari Sarekat Dagang Islam di bawah pimpinan Haji  Samanhudi.

Karenanya, bagi Tjokroaminoto, hijrah adalah sebuah ikhtiar  melepaskan diri dan bangsanya dari ketertindasan dan penderitaan. Ia  juga menghidupkan konsep equality dengan menyadarkan rakyat bahwa mereka bukan "seperempat manusia".

Ia pun memilih hijrah dari Ponorogo kemudian ke Semarang. Lalu ia  memilih hijrah ke Surabaya. Di Surabaya, gagasan perlawanannya terhadap  Hindia Belanda dan gagasan membangkitkan semangat juang rakyat banyak  ditelurkan melalui tulisan-tulisannya di media massa.

Hijrah Kekinian

Tentu, hijrah tidak melulu dipahami sebagai sebuah perpindahan fisik,  tetapi juga pikiran dan mental, bahkan jiwa. Tekad jiwa bangsa ini  harus memantapkan diri agar bisa lepas dari---meminjam istilah  Tjokro---menjadi sirkus dari pemilik modal.

Jika jiwa kita hanya jadi sirkus, sudah pasti kita hanya jadi sebuah  tontonan semata. Tak lebih. Di sinilah hijrah juga berarti memberikan  kemerdekaan dan kesadaran politik agar kita tidak jadi tumbal kebijakan  politik itu yang destruktif.

Dalam konteks kekinian, di mana bangsa ini begitu kuat dikendalikan  oleh asing, ditambah perilaku-perilaku berbangsa yang terus terpuruk,  baik dari aspek politik, hukum, ekonomi, dan seterusnya, maka hijrah  menjadi sangat relevan untuk diaktualisasikan.

Betapa banyak perjuangan para tokoh politik kita, aktivis, dan bahkan ulama yang concern mengampanyekan perubahan bangsa harus berakhir di balik jeruji besi.  Ini memang bukanlah Orde Baru, tetapi gaya ini tak lebih dari "copy-paste" Orde Baru. Maka, sejatinya kita telah kembali ke rezim otoritarianisme ala Orba dalam bentuk lain.

Padahal, mestinya hukum benar-benar ditempatkan sebagai panglima  tertinggi dari sebuah kebijakan. Ia mesti berdiri di atas segala  kepentingan, karena ia memiliki dasar dan logika tersendiri. Hukum tidak  menggunakan logika politik, apalagi kekuasaan. Logika hukum adalah  logika keadilan dan itu merupakan sebuah keharusan.

Jika yang menjadi guidance masih logika permainan, dalam  arti logika politik, kekuasaan, termasuk juga logika ekonomi, bukan  logika keadilan, sangat mungkin hal itu akan menjadi preseden buruk bagi  penegakan hukum (law enforcement) kita dan bahkan akan merambah pada distrust, yaitu ketidakpercayaan publik terhadap hukum itu sendiri.

Di sini pertaruhan kepemimpinan adalah jawabannya, di mana pemimpin  tidak melihat orang lain sebagai lawan. Dalam membangun bangsa, oposisi  politik bukanlah rival, tetapi sejatinya ia mitra bagaimana membangun  bangsa dari versi yang berbeda. Dengan begitu, kritik tak perlu lagi  direspons dengan sikap apatis sebagai polusi. Ia harus dilihat sebagai  solusi.

Tentu, ini berbeda dengan gaya kepemimpinan era Jokowi yang banyak  ditampilkan beberapa bulan terakhir ini, di mana mereka yang memiliki  gagasan yang berbeda dipukul, bukan dirangkul. Mereka ditendang bukan  disayang dan bahkan harus mendekam di balik jeruji besi tanpa alasan  yang pasti. Dalam konteks ini, Jokowi dengan segenap pemerintahannya  perlu hijrah dari tradisi "memukul". Jokowi juga perlu hijrah dari  sekadar mengumbar janji menjadi mengumbar bukti. Bukankah kebijakan  mencabut subsidi listrik dan lainnya menunjukkan jika Jokowi sebenarnya  jauh dari status Pro-Wong Cilik?

Begitu pun dalam konteks politik. Hari ini, politik jauh melenceng  dari cita-cita yang sebenarnya. Politik meminjam terminologi Gabriel A.  Almond, politik memang kegiatan yang berhubungan dengan kendali  pembuatan keputusan publik dalam masyarakat tertentu di wilayah  tertentu, di mana kendali ini disokong lewat instrumen yang sifatnya  otoritatif (berwenang secara sah) dan koersif (bersifat memaksa). Tetapi  itu saja tidak cukup. Tujuan dari politik itu sendiri harus diarahkan  pada public goals, bukan private goals. Ia mesti  diarahkan pada kepentingan masyarakat umum. Tetapi hari ini realitas itu  sangatlah di luar idealitas politik, karena hari ini politik hanya  dikendalikan dan kemudian dimanifestasikan untuk kepentingan segelintir  elite saja.

Wallhu a'lamu bi al-shawb

Hambalang, 11 Juni 2017
Pukul 23.41 WIB.

Tulisan ini juga dimuat di Rilis.id pada 12 Juli 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun