Mohon tunggu...
Moeflich Hasbullah
Moeflich Hasbullah Mohon Tunggu... Dosen - Penulis Refleksi

Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Bandung. email: moeflich@uinsgd.ac.id. Blog: moeflich.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Salah Kaprah Ucapan Selamat pada Pejabat Publik

5 Januari 2012   23:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:16 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika pasangan SBY-Budiono terpilih menjadi Presiden RI tahun 2009, ucapan selamat memenuhi ruang media massa lokal dan nasional di seluruh Indonesia. Sebagaimana juga di propinsi-propinsi lain di Indonesia, setahun sebelumnya, koran-koran di Jawa Barat dipenuhi oleh ucapan selamat pada gubernur terpilih Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf. Pada 16 Desember 2010, 36 Camat di Kabupaten Bandung secara bersama-sama memberikan ucapan selamat kepada Bupati terpilih dan Wakil Bupati Kabupaten Bandung. 36 ucapan itu dalam satu koran pada hari itu, belum pada hari-hari lainnya dan di koran-koran lain. Sangat sering kita menemukan ucapan-ucapan selamat pada seorang pejabat terpilih terutama saat musim pemilihan.

Sudah menjadi kesadaran publik kita, ketika seorang memenangkan pemilihan jabatan, ucapan selamat mengalir dari mana-mana: dari atasan, dari bawahan, dari rekan pejabat, relasi kerja, mitra usaha, dari masyarakat yang memiliki keterkaitan fungsional dengan pejabat dan dari konstituen pendukung politiknya. Hampir tak pernah ditemukan pernyataan bahwa ucapkan selamat kepada pejabat terpilih adalah tradisi yang salah. Hampir semua masyarakat menganggapnya sebagai hal yang baik, biasa dan benar sebagai wujud dukungan dan ungkapan simpatik.

Sesungguhnya, ucapan selamat pada pejabat publik yang baru terpilih adalah tradisi yang tak ada dasar logika dan etikanya, apalagi secara agama. Berikut ini alasan-alasan ucapan selamat kepada pejabat selama ini adalah kebiasaan yang salah kaprah.

Pertama, ketika seorang pejabat sudah terpilih dan dilantik artinya ia baru akan memulai bekerja mengemban tugasnya sebagai pejabat. Baru akan mulai artinya belum apa-apa, belum ada hasil kerja dan karyanya yang bisa dilihat, dibuktikan dan ditunjukkan. Dari sisi mana ucapan selamat perlu diberikan? Dapat dipastikan, alasannya dari sisi memenangkan

pemilihannya. Bukankah memenangkan pemilihan tidak menjamin kesuksesannya dalam tugas kepemimpinannya? Dan ini banyak sekali contoh.

Begitu selesai melakukan sumpah jabatan, terbentanglah setumpuk tugas yang harus dikerjakan dan diselesaikan oleh seorang pejabat baru. Banyak terjadi, jangankan setelah selesai masa jabatannya, baru beberapa bulan saja, sudah muncul kekecewaan masyarakat yang tidak puas pada kemampuannya bekerja, pada ketidakseriusannya mengatasi persoalan-persoalan, atau pada ketiadaan program-program strategis yang ditawarkan. Yang ditawarkan pun belum tentu akan berhasil. Evaluasi 100 hari kerja pemerintahan SBY-Budiono untuk melihat bukti-bukti awal dari janji-janjinya diwarnai kekecewaan masyarakat yang luas. Pada tiga bulan pertama, masyarakat menilai belum menemukan tanda-tanda ada gerakan yang dirasakan ‘greget’ terutama dalam memberantas korupsi. Hingga sekarang, program pemberantasan korupsi dirasakan tidak tegas dan tidak serius. Hingga sekarang sudah satu tahun lebih pun, pemerintah SBY dinilai tidak menunjukkan prestasi dalam memberantas korupsi. Bahkan korupsi semakin menggila, mafia semakin merajalela, sementara ketegasan hukum tidak ada. Banyak kasus besar masih misteri dan trilyunan dana negara raib. Sementara angka kemiskinan rakyat tidak juga berkurang. Sejumlah tokoh pemuka berbagai agama pada bulan Januari 2011, mengeluarkan surat protes berisi kebohongan-kebohongan publik pemerintahan SBY mengenai capaian-capaian pembangunan. “Reformasi telah gagal, kita terpaksa harus memulianya lagi dari nol,” kata Yudi Latif, pengamat politik dan kenegaraan.

Selain hasil kerja belum bisa dievaluasi, banyak pejabat masuk penjara belum lama setelah dilantik karena melakukan penyelewengan dan korupsi. Kejaksaan Negeri Sumenep menetapkan Bupati Abuya Busro Karim, sebagai tersangka korupsi Dana APBD ketika baru beberapa bulan menjadi Bupati pada tahun 2004. Tahun 2008, KPK mengganjar 10 tahun penjara Bupati Garut Agus Supriadi karena menyelewengkan uang negara sebesar 13 Miliar lebih. Walikota Medan Rahudman Harahap, menjadi tersangka korupsi ketika baru beberapa bulan menduduki kursinya. Agusrin Maryono, Gubernur Bengkulu ditetapkan sebagai tersangka pada Agustus 2008 karena melakukan penyelewengan dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan senilai Rp 21,3 miliar, juga tak lama setelah dilantik. Mantan Gubernur Jawa Barat, Dany Setiawan dihukum 4 tahun penjara karena korupsi pengadaan alat berat dan mobil ambulan yang seluruhnya merugikan negara sekitar Rp 72,057 miliar.

Laporan ICW tahun 2007, menyebutkan ada 41 bupati dijadikan tersangka karena melakukan korupsi. Tahun 2009, empat gubernur ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi di daerahnya masing-masing: Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Arifin, Gubernur Kalimantan Timur Awang Farouk Ishak, Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin dan Gubernur Bengkulu Agusrin Maryono Najamudin.

Padahal, ketika dilantik, halaman-halaman media massa dipenuhi ucapan-ucapan selamat atas terpilihnya mereka. Dari fakta-fakta di atas, nampak ucapan selamat adalah sesuatu yang salah kaprah. Ucapan itu sama sekali tidak bermakna. Yang tidak terungkap melakukan korupsi pun belum tentu bersih. Menghadapi hukum dunia, orang bisa berkelit, jejak bisa dihilangkan, belum lagi kongkalingkong hakim dan jaksa dengan tersangka.

Kedua, kecuali sedikit yang dasarnya benar-benar pengabdian, dalam kesadaran umum pejabat kita, niat dan tujuan meraih jabatan bukan ingin berbakti dengan tulus, memberikan sumbangsih tenaga dan fikiran kepada masyarakat, negara dan bangsa, tetapi lebih sebagai pengembangan karir, sebagai persaingan kelompok, rebutan kekuasaan dan bayangan menikmati fasilitas dan kekuasaan. Karenanya, banyak terjadi, yang memenangkan pemilihan pejabat atau pemimpin bukan calon terbaik, tapi yang paling banyak pendukungnya melalui mobilisasi massa. Yang terpilih bukan yang terbaik menyebabkan banyak pejabat kita tak maksimal melakukan tugasnya, gagal menjalankan amanat dan berdusta dengan janji-janjinya. Kecuali sedikit yang berhasil menorehkan prestasi, umumnya, hanya rutinitas dan tidak terjadi perubahan mendasar. Buruknya malah melakukan penyelewengan dan korupsi.

Ketiga, dalam Islam, jabatan (apalagi pemimpin) adalah amanat yang sangat berat. Begitu beratnya, sampai Tuhan Pencipta Alam Semesta sendiri memberikan peringatan-Nya yang keras dan tegas bahwa orang yang mau menerima amanat adalah orang bodoh: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu karena mereka khawatir akan mengkhianatinya, lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh” (Al-Ahzab: 72). Bila amanat itu sangat berat, langit dan bumi saja tidak sanggup memikulnya, dan mau menerimanya (apalagi memperebutkannya) disebut sebagai kedzaliman dan kebodohan, bukankah kesalahan yang amat besar mengucapkan selamat kepada seorang pejabat terpilih yang telah bersaing memperebutkan amanat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun