Malam itu bukan malam biasa. Heningnya malam di sudut lingkungan Gerem Raya, Cilegon, tempat saya tinggal, Â berubah menjadi mencekam. Suara gaduh menggema di lingkungan rumah, membuat anak saya berlari keluar dengan wajah panik. "Ada kebakaran mah, !" teriaknya. Spontan saya pun ikut keluar, Â beberapa tetangga sudah berdiri di halaman rumah masing-masing, semua menatap ke langit dengan wajah tercengang. Dan apa yang saya lihat membuat langkah saya terhenti.
Langit di atas kami bukan lagi biru gelap seperti biasanya. Ia menjelma menjadi jingga terang, seolah-olah malam sedang terbakar dari atas atau matahari kembali muncul dari ufuk barat. Cahaya itu tidak biasa. Bukan dari api rumah yang terbakar, bukan pula dari lahan lelean yang terpanggang api akibat kelalaian  petani yang melempar puntung rokok sembarangan diatas hamparan alang-alang dan rumput kering. Ini lebih besar dan  lebih menakutkan,  mirip dengan semburan gunung Merapi di Jogjakarta ketika sedang memuntahkan lahar.
Sumber cahaya itu adalah semburan api dari cerobong PT Lotte Chemical Indonesia (LCI), perusahaan kimia terbesar yang kini sedang melakukan proses flaring dalam tahap start-up dan commissioning. Jarak perusahaan dengan lingkungan warga hanya dipisahkan dengan pagar pembatas, bahkan pintu gerbangnya ada di lingkungan warga. Api yang memancar dari cerobong yang jaraknya hanya kurang lebih 1 km dari pemukiman warga itu bukan sekadar nyala kecil---ia seperti obor raksasa yang mencakar langit, menebar cahaya ke segala penjuru disertai kepulan asap menggulung terbang disapu angin.Â
Saya bukan ahli kimia, tapi tidak bodoh-bodoh amat.  Semburan api dari cerobong itu bukan hal biasa. Api menjulang tinggi, sementara dari semburan  api itu keluar gumpalan asap  hitam pekat,  bisa dipastikan akan membawa senyawa  yang menyebar tak kasat mata ke pemukiman warga, tak peduli pada siapa pun yang menatapnya dari bawah, perlahan --entah sampai kapan, menghirup udaara yang sudah tercemar .
Ironisnya, dua hari sebelum insiden cahaya itu terjadi, saya, Pak RW, Pak RT, dan sejumlah warga sempat bertemu dengan perwakilan perusahaan. Hadir saat itu Pak Halimi dan Pak Cahyo Ahdiayatma dari bagian General Affair. Dalam obrolan santai sambil minum es kopyor---meskipun tanpa jamuan makan---mereka meyakinkan kami bahwa proses flaring ini tidak berbahaya. Kami pun merasa tenang, setidaknya sampai malam itu tiba.
Namun siapa sangka, flaring yang katanya "biasa" justru menghadirkan pemandangan yang belum pernah kami lihat sebelumnya---lidah api menari di langit, membelah malam, membuat jantung berdegup lebih kencang. Ketakutan adalah hal yang wajar.
Warga geger. Media sosial dibanjiri unggahan video dan foto dari berbagai sudut kota. "Cilegon kebakaran?", "Apa ini aman?", "Ledakan industri?", hingga komentar sinis, "Warga hanya menikmati asap"---berbagai spekulasi bermunculan di tengah kepanikan.
Lebih riuh lagi suasana di grup WhatsApp warga Gerem Raya--warga terdekat dari pabrik, Â Tanggapannya beragam: ada yang mengajak demo, ada yang menyuruh istighfar. "Ibu-ibu, kita demo aja yuk!", "Ndase mubeng (kepala pusing)", "Bunyi pabrik kayak pesawat", "Telinga budeg", "Suara gemuruhnya itu ngeri", "Ngeri, kadang bikin kaget juga", Istighfar ibu-ibu", ---itu sebagian dari keluhan yang berseliweran.
Inilah problematika kota industri: masyarakat terdekat hidup berdampingan dengan deru mesin, cerobong asap, dan semburan api. Namun harus diakui, ini bukan sekadar dampak sampingan. Ini adalah bentuk pengabaian terhadap rasa aman dan kenyamanan warga.