Mohon tunggu...
Cahya Sinda
Cahya Sinda Mohon Tunggu... -

Sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen|Wanita Tak Kasatmata

8 November 2018   10:34 Diperbarui: 8 November 2018   12:06 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wajah wanita itu samar terlihat. Tertutup oleh rambutnya yang panjang sebahu lebat hitam. Selain karena rambutnya yang sedikit basah dan mulai mengering itu, juga karena korang yang lebar ia buka. Pemuda hanya belum memperhatikan wanita itu. Sambil kembali menikmati kopi yang telah mengejutkan lidahnya tadi, matanya melihat ke arah si wanita. Masih saja tidak terlihat dan pemuda masih tetap melihat, menunggu untuk halaman berikutnya, wajah itu pasti akan dipergokinya. Tidak menjadi masalah pikirnya sekalipun untuk waktu yang lama, itu sepadan dengan rasa ingin tahunya.

Si pemuda bersiap untuk misinya. Hatinya teguh menghadapi waktu. Tiba-tiba persiapan itu hanya menjadi persiapan. Wanita misterius itu meletakkan koran di meja, sepertinya selesai menemukan apa yang menjadi tujuannya. Kemudian bersandar pada dinding. Selanjutnya adalah bagian yang sangat ditunggu-tunggu oleh si pemuda, wanita itu merapikan rambutnya. Diambilnya tali rambut yang melingkar di lengan. Pemuda dengan seksama memperhatikan. Kopi diangkatnya mendekati bibir sebagai alasan. Wanita mengangkat tangannya mengambil rambutnya yang terurai, disatukan kebelakang dan diikat kuat. Wajah misterius itu tertutup siku kiritidak begitu jelas terlihat oleh pemuda. Sebentar lagi akan terlihat bagaimana wajah itu.

Ikatan selesai, pemuda itu semakin fokus. Siku itu mulai turun. Pemuda mencapai puncak keinginannya. Selanjutnya si bapak masuk dan duduk di sebelah kanan pemuda. Wanita misterius itu mengembalikan diri pada koran. Pemuda kelabakan, Badannya yang tadi semakin condong membusur ke arah wanita misterius itu, dengan kopi di tangan kembali ke posisi semula menghadap kedepan seperti diisaratkan oleh pemimpin upacara. Tidak ada pilihan, pemuda itu harus memulai lagi dari awal pengamatan yang menjadi ambisinya tadi. Tirai hitam telah dibuka, tapi tembok beton terbangun secara tiba-tiba.

"Sudah mas."

"Oh, iya pak. Berapa?"

"Lima ribu."

Pemuda berkomat-kamit sendiri mengulang kata lima ribu berkali-kali dengan suara lirih sambil mengambil uang di dalam dompetnya. Ia menyodorkan uang pas, selembar uang kertas lima ribu.

"Ini pak, terima kasih."

"Iya, sama-sama"

Kemisteriusan di gubuk itu mulai terpecahkan. Setidaknya sebelum pergi, pemuda itu mengetahui suara salah satu manusia yang banyak berdiam di gubuk itu. Ia merasa sedikit menyesal telah membayar si bapak. Pikirnya ini sudah waktunya untuk pergi. Sementara terasa ada yang menahan pemuda itu untuk pergi. Ia berfikir bahwa ambisinya adalah mencari jawaban dari kemisteriusan ini. Kini alasanya untuk tetap tinggal adalah deras air hujan yang mulai mereda dan sisa kopi yang kini hendak kembali ia seruput.

Kopi mulai dingin, tapi kenikmatannya benar-benar tidak berkurang. Pemuda itu ingin memesan lagi satu gelas kopi. Bukan karena ingin merasakan kenikmatannya untuk kedua kalinya, tapi takut jika harus pergi tanpa pecahnya misteri keheningan gubuk itu. Sementara itu kopi yang ia pesan sebelumnya masih ada sedikit, kemudian siapa yang memesan dua kopi untuk satu waktu orang yang sama di sebuah warung kopi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun