"Kang Sapa jatuh!"Â
"Kang Sapa jatuh?"
"Iya. Â Kang Sapa jatuh."
Tari sedang nyuci di kali saat itu. Â Warno lari terbirit-birit menyampaikan kabar itu kepada Tari. Â Dan Tari seperti linglung. Â Berdiri dan lari pulang.
Di rumah sudah banyak orang berkumpul. Â
"Sing sabar, ya, Tar."
"Tawakal, ya."
Dan kejadian itu masih terlukis jelas di ingatan Tari. Â Saat kemudian Sapa tak bisa diselamatkan. Â Dan meninggal. Â Tidak sebetulnya Sapa tidak meninggal.
Malam itu. Â Saat kelam. Â Tari diam-diam mengambil pisau itu. Â Tari tusukan pelan-pelan. Â Pada luka menganga yang ada di perut Sapa. Â Luka saat Sapa jatuh dan tertusuk batang bohon turi yang baru diapngkas. Â Sapa hanya mengerang. Â kemudian diam. Â Karena Sapa tahu. Â Kalau dia terlalu lama sakit, maka yang akan menumpuk hanyalah hutang. Â Maka Sapa pun merelakan diri saat Tari dengan air mata yang meleleh, melesapkan ujung pisau itu di perutnya.
Tak ada tahu. Â Orang-orang kampung hanya tahu kalau Sapa kemudian meninggal. Â Karena terjatuh dari pohon kelapa. Â Saat hujan deras mengguyur kampungnya. Â Saat Sapa harus mengambil nira.
Dan ingatan ini juga masih ada di ujung ingatan Tari. Hingga kini.