Waktu kecil, selalu pulang sekitar jam 15 karena mau mendengarkan radio. Â Walaupun sedang seru serunya main, pasti langsung berhenti dan pulang mencari radio.Â
Kenapa pulang mendengarkan radio?Â
Pada saat itu, drama radio memang sedang digandrungi. Televisi belum banyak dan biasanya hanya disetel pada saat malam. Ngirit aki. Nyetrumnya mesti ke kota kecamatan.Â
Setiap sore, drama radio selalu ditunggu dan dinanti. Kehilangan satu episode saja dunia seakan runtuh.Â
Ketika remaja, tak ada lagi drama radio. Menemani saat belajar adalah musik. Sepanjang belajar selalu ditemani musik dari radio. Â Kadang, tidur pun ditemani suara radio. Kadang malah dengerin wayang kulit walaupun gagal paham isinya.Â
Kemudian televisi menggeser radio. Apalagi listrik sudah masuk kampung. Tak ada lagi suara radio terdengar. Di hampir setiap rumah selalu ada televisi. Walaupun waktu itu masih televisi hitam putih.Â
Kehadiran televisi dianggap sebagai monster pemangsa radio. Masih ada terdengar suara radio biasanya dari dapur pada pagi hari. Menemani Ibu ibu memasak.Â
Ternyata radio tidak mati tuh.Â
Sekarang tinggal di Jakarta. Tak ada hari tanpa kemacetan. Hitungan kemacetan bukan lagi puluhan menit tapi sudah jam. Bisa tiga jam bisa lima jam.Â
Saat itulah, radio muncul kembali sebagai teman suntuk dalam kemacetan yang kian hari kian parah. Radio adalah hiburan yang setia.Â