Iya. Perasaanku kenapa jadi gak enak ya? Tiap sore juga hujan. Wong sudah masuk musim hujan. Â Justru kalau tak hujan malah aneh.Â
Iya. Tadi siang dia tetap pergi. Katanya mencari makan buat kambingnya. Cuma dua biji. Tapi kan harus dicarikan makan. Kalau tidak, ya, mati.Â
Iya. Sudah lama aku bilang. Tidak usah pelihara kambing segala. Sudah tua. Susah kalau harus cari makan kambing segala.Â
Iya. Anak anak sudah mentas semua. Paling bontot baru setengah tahun diboyong suaminya ke kota. Suaminya jadi pegawai negeri di kantor Kabupaten. Tak mungkin bolak-balik dari kampung.Â
Iya. Sekarang tinggal berdua. Plus kambing itu. Katanya, kalau gak ada kambing rumah semakin sepi. Dan dia tak bisa tahan hidup dalam sepi.Â
Iya. Anak anak paling pulang setahun sekali. Kalau lebaran. Bukan hanya jauh tapi juga sekali pulang perlu biaya tidak sedikit.Â
Iya. Sebetulnya mereka bisa pulang sendiri saja. Tak perlu setiap pulang membawa semua anggota keluarga.Â
Iya. Tapi mereka bilang cukup video call saja jika kangen cucu. Toh bisa ngobrol dan bisa lihat wajah juga.Â
Iya. Biasanya dia sudah pulang dari tadi. Tapi sore ini tidak seperti biasanya. Belum pulang juga.Â
Iya. Gerimis bukannya tambah reda. Malah makin bedar saja. Mana petirnya seperti sedang berpesta saja. Saling tikam dengan suara paling menggelegarkan.Â
Iya. Sudah hampir 60 tahun hidup bersama dia. Laki-laki yang selalu mencintainya. Yang selalu berada di samping nya.Â
Iya. Petir itu seakan sedang memberi isyarat. Tapi aku belum bisa mengambil kesimpulan. Dan cuma bisa berdoa. Segera muncul kepala botaknya.Â
Iya. Sudah semakin gelap. Dan hujan belum hendak reda.Â